Cerpen: Dua Tiga Dan Keadailan
Cerpen ini pernah tayang di tabloid ROSE HONG KONG dan sampai hari ini honornya enggak cair. Ehe

Dua Tiga Dan Keadilan
Oleh : Mieny Angel
Aku diam di depan pintu ruang perawatan. Aku masih ragu untuk masuk. Di dalam
terbaring istriku yang tengah istirahat sejak seminggu yang lalu melahirkan. Bukan aku tak
sayang istriku, aku takut untuk melangkah karena aku masih terngiang ucapannya beberapa hari
yang lalu.
Tepatnya tiga hari yang lalu setelah dia dipindahkan ke ruang perawatan ini. Aku masih
ingat dengan jelas.
“Uda, nikahilah Yuyun. Dia sangat sayang pada anak-anak kita. Dia juga yang rela
memberikan ASInya untuk anak kita yang baru lahir. Kasihan dia. Karena musibah itu dia harus
kehilangan suami dan anaknya. Ayolah Uda, menikahlah dengannya. Demi anak kita juga.”
“Sudahlah Diak, jangan kau paksa aku.”
Aku tak pernah menyangka, istriku yang baru keluar dari ICU meminta hal yang seperti
ini padaku. Semuanya terlalu cepat, bahkan semuanya tidak pernah ada dalam otak atau
imajinasiku.
“Diak gak memaksa. Mungkin karena Uda belum sayang sama Yuyun jadi semua terasa
berat.” Ucapnya yakin.
“Percayalah Uda, suatu hari nanti sayang itu akan tumbuh dengan sendirinya.”
Galau. Aku kacau dengan permintaan Haisah, istriku. Dengan tiba-tiba dia memintaku
untuk menikahi pengasuh anak kami. Aku tidak bisa, aku bingung. Tak pernah Haisah meminta
sesuatu, sekali meminta ternyata permintaannya jauh dari bayanganku. Dia memintaku menikah
lagi.
Alasan yang dia lontarkan lantaran dia sakit. Menurut dokter kanker. Tapi menurutku itu
tidak seharusnya menjadi alasan untuk memintaku menikah lagi.
Semuanya seakan dalam sebuah sinetron di televise. Istri untuk suamiku.
Percakapan tiga hari yang lalu benar-benar menguras tenagaku. Dan kini, apa yang harus
aku katakana jika aku berada di ruangan bersama istri, anak juga Yuyun.
“Masuklah Uda, jangan di balik pintu saja.”
Ternyata dia melihatku sedari tadi termenung di depan pintu.
Dengan langkah berat, aku masuk ke ruangan. Di ranjang istriku berbaring. Sementara di
pojok ruangan, Yuyun tengah menggendong anak kedua kami yang masih berumur seminggu.
Masih bayi merah.
“Uda…” suaranya menggantung.
“Tuhan, ku mohon semoga dia tidak membahas masalah kesedianku untuk menikahi
Yuyun.” Batinku.
“Uda sudah pikirkan semuanya? Permintaan Adiak tidak beratkan Uda?” ucapnya lirih.
Benar. Ternyata dia masih memikirkan permintaannya. Aku harus menjawab apa untuk
semua ini. Aku tak mau menyakiti hati siapa pun.
“Diak…” aku bingung.
“Tidak Uda. Menikahlah dengan Yuyun.” Ucapnya lagi sembari menatapku dan Yuyun
bergantian. Dan yang lebih mengagetkan lagi, dia melepas cincin di jarinya menyerahkannya
padaku dengan anggukan kepalanya.
Aku terpukul.
“Diak tetap cinta pada Uda. Tapi mungkin waktu Diak tak lama lagi. Anak kita butuh
seorang ibu. Yuyun juga tak akan keberatan menjadi ibu untuk anak kita, dia telah menjadi ibu
yang baik. Air susu Yuyun telah menggantikan air susuku yang haram. Aku sakit Uda. Ayolah, kabulkan permintaan Diak."
Air mata mulai mengalir dari mata indahnya. Aku bingung dengan semua ini. Apa aku
harus menikahi Yuyun? Aku belum sanggup. Dua istri saja aku tak sanggup adil, apa lagi tiga
istri? Aku tak akan mampu adil.
Dulu istri pertamaku menyuruhku menikahi Haisah lantaran dia tak mampu mempunyai
anak. Kini Haisah menyuruhku menikahi Yuyun karena sakit yang dideritanya.
Ya Allah, kenapa semua ini terlalu rumit? Aku belum bisa adil pada istriku Ya Allah. Apa
aku harus mengabulkan permintaan istriku?
Haisah terus memohon sedang Yuyun hanya menunduk. Tubuhku lemas, jujur aku ingin
pingsan tapi kenapa tidak pingsan saja?
Dua dan kini hendak tiga istri. Sesuatu yang tak lagi-lagi tak pernah kuharapkan dalam
hidupku ini. Entah mengapa sejak aku menikah hidupku penuh dengan likuan cobaan. Kalau
boleh aku ingin hanya memiliki satu orang istri. Namun ternyata Tuhan berkata lain, aku harus
berbagi perhatian dengan istri keduaku. Aku tak pernah tahu apa rencana Tuhan dengan skenario
hidupku ini.
Kata seorang ustad, Poligami itu diperbolehkan asal kita mampu untuk berbuat adil. Dan
poligami itu ada tuntunannya tersendiri. Aku masih terlalu kerdil untuk memaknai semuanya.
Tidakkah ini sebuah cara Tuhan untuk menegurku?
Dalam kegalauan yang teramat tiba-tiba pintu terbuka. Seorang wanita yang sudah
kukenal terlihat senyum manis menghampiri ranjang.
“Assalamualaikum.” Ucapnya semangat.
“Waalaikumsalam.” Jawab semua penghuni ruangan.
“Uni Khatimah.” Sambut Haisah tak kalah semangatnya.
Kini lengkap sudah. Dua orang istri di depan mataku dan satu calon istri yang belum aku
kasih kepastian.
Wanita di hadapanku adalah wanita yang sama-sama aku sayangin juga wanita yang
tangguh. Keduanya banyak mengajariku tentang hidup. Keduanya juga yang menyuruhku secara
tak langsung untuk berbuat adil.
Keduanya tidak pernah bertengkar, sekalipun keduanya adalah istri pertama dan keduaku.
“Uda, Khatimah tahu. Sekarang semua terserah Uda. Haisah juga aku sudah memikirkan
semuanya. Kalau pun Yuyun satu atap dengan kita, tidak masalah Uda.” Ucap Khatimah tegas.
Tubuhku benar-benar lemas. Mampukah aku berbuat adil untuk semua ini?
Iman ini masih terlalu kecil Ya Allah.
Dua dan kini tiga. Aku pandang wajah mereka satu persatu. Berat rasanya untuk
mengatakan sanggup.
****
Wonosari, April 19.2011
Keadilan itu diperlukan dalam sebuah rumah tangga
Jadilah seorang imam yang benar-benar menjadi nahkoda dalam kapal yang kau bawa
*Catatan: cerita ini di-posting tanpa editan. Jika ada typo dan salah tanda baca, memang seperti itu awal saya menulis dulu.