Cantik Sejati atau Sekedar Sandiwara?
Percakapan pada suatu hari...
“Mbak, alisnya mau dirapikan?”
Sebuah pertanyaan muncul dari mbak-mbak klinik kecantikan saat saya
pertama kali mencoba facial di sana. Pertanyaan serupa sering saya terima,
sering, bahkan bisa dipastikan setiap saya didandani (entah untuk pager ayu
atau yang lain) periasnya bertanya demikian.
“Enggak.” Ini menjadi jawaban ampuh dari mulut saya. Semakin sering
orang ingin merapikan alis saya maka semakin kuat saya untuk menolaknya.
Alis saya memang tidak serupa ulat bulu, ia hanya selarik hitam yang
samar-samar, tidak begitu rapi atau pun lebat. Tapi saya menyukainya apa
adanya. #halah
Forum Aktor Yogyakarta
Drama Kecantikan
Pengetahuan saya tentang kecantikan sangat minim. Saya perempuan yang
jarang mengikuti perkembangan zaman. Apa yang saya rasa nyaman maka itu yang
saya pertahankan. Apa pun bentuknya saya masih menyukai apa-apa yang membuat
saya nyaman.
Masalahnya ternyata tidak simpel. Hidup butuh orang lain. Butuh
berkelompok, bersosial saling mendengarkan, memberi dan menerima masukan.
Hingga sampailah saya pada kesimpulan bahwa cantik itu tidak semata-mata hadir
dari pandangan diri sendiri tapi melibatkan orang lain.
“Cantik itu bukan hanya wajah yang bersinar tapi juga hati yang lapang
penuh kebijakan.”
Well, sering ya dengar obrolan seperti itu? Lalu benarkah seperti itu?
Saya pikir iya kecantikan dari dalam hati lebih utama. Tapi tidak bisa
dipungkiri kalau cantik fisik juga sangat berpengaruh besar dalam kehidupan.
Sebagai contoh; perempuan-perempuan dengan fisik berkilau kadangkala lebih
gampang mendapatkan pasangan atau kerjaan dibanding dengan perempuan dengan
fisik jauh dari kata berkilau. Padahal belum tentu perempuan berfisik berkilau
itu punya kecerdasan lebih dibanding perempuan berfisik jauh dari harapan.
#duhmuter
Di sinilah drama-drama kecantikan mulai bergentayangan. Menghantui
bahkan tidak jarak meneror. Entah bermula dari mana, pokoknya cantik fisik
menjadi sesuatu yang dielu-elukan banyak orang. Pun yang terjadi dalam
hari-hari saya. Puluhan tahun saya ini tidak membiasakan diri dengan pulasan
gincu mau pun percikan parfum. Namun begitu masuk ke lingkungan lebih luas
dengan teman-teman lebih banyak dari segala bidang, mau tidak mau saya harus ke
kasir untuk menukar rupiah dengan sebatang ginju, bedak, minyak wangi dan
kadang kala pensil alis. Saya termakan kata-kata mereka yang bilang bahwa
perempuan akan lebih terlihat jika berdandan.
Tidak hanya masalah dandanan, urusan berat badan juga menjadi obrolan
serius menyangkut sebuah definisi kecantikan. Diet ketat dan olahraga keras
menjadi salah satu cara yang ditempuh banyak orang untuk mendapatkan bentuk
tubuh ideal.
Terus terang saya termasuk yang mengagumi orang-orang dengan bentuk
badan ideal ini. Meski yang saya maksud ideal kadang kala tidak sesuai dengan
harapan orang-orang. Bagi saya ideal itu enak dilihat, enggak ngebosenin dan
bisa membuat teringat sepanjang waktu. #duhdek
Selain masalah wajah, bentuk badan juga ada hal lain yang membuat
kecantikan itu menjadi bahan kajian yang tak akan berkesudahan yaitu tentang
lingkar dada, perut dan bokong. Yang ini sungguh membuat saya pusing. Selalu
saja ada alasan orang untuk mencari celah (kurang) dari definisi
kecantikan tersebut.
Cantik memang terlalu drama. Selalu menjadi polemik diantara
kesemrawutan hidup yang lain. Drama kecantikan saya pikir tidak akan pernah
menemui kata tamat.
Sulamin Bibir Saya, dong!
Pengetahuan saya tentang drama, teater, dunia panggung sangatlah minim.
Seminim pengetahuan saya tentang kecantikan. Namun Jumat malam (21/04/2017)
kemarin menjadi salah satu malam yang sulit untuk dilupakan.
Seorang kawan dari Forum Aktor Yogyakarta (FAY) mengontak saya jauh hari
untuk ikut melihat pertunjukan teater mereka. Sudah saya bilang bahwa pemahaman
saya tentang teater sangat buruk meski di SMP dulu saya juga gabung grup teater,
namun teman tersebut tetap mengajak saya dengan alasan agar ada masukan atau
review dari seorang awam teater. Dan okey, saya pun datang dengan senang hati
lebih-lebih saat tahu bahwa pementasan teater itu menyinggung tentang perempuan
dan kecantikan. Lalu abaikan bahwa di FAY ada kakak tamvan yang saya
idolakan.
Saya baru tahu ternyata pertunjukan teater dengan judul Sulamin Bibir
Saya, dong! ini awalnya berawal dari obrolan perempuan-perempuan yang ada
dalam FAY tentang mitos kecantikan. Lalu dilakukanlah riset panjang hampir satu
tahun. Mulai dari membaca buku riset pustaka hingga terjun ke lapangan langsung
berhadapan dengan tokoh-tokoh yang berpengaruh utamanya dalam dunia kecantikan.
Butuh banyak sumber guna meminimalisir adanya judgement ‘benar’ atau
‘salah’ dari pola pikir setiap individu tentang definisi cantik. Karena
setiap orang punya penilaian sendiri tentang cantik, dan tidak boleh seorang
yang lain menyalahkan atau membenarkannya. Seperti yang di awal saya bilang;
cantik itu penuh drama, dia tidak mudah, rumit dan akan sukar menemukan kata
tamat.

Teater dan Penonton
Saya merasa kurang saat para pemain berkumpul di depan penonton dan
membungkuk memberi salam hormat yang artinya penampilan mereka telah usai. Saya
kecewa pada detik ini.
Saya masih berharap ada kelanjutan dari pertunjukannya.
Seperti saya bilang, saya tidak terlalu paham dan jarang nonton teater,
tapi kali ini saya merasa bahagia sejak pertama berdiri di depan pintu teater
menunggu pintu di buka.
Teater Sulamin Bibir Saya, dong! dikonsep serupa talkshow sebuat
televisi. Ada studio, pembawa acara, co-host, bintang tamu, kru, produser
pelaksana dan penonton. Ya sekali lagi penonton, kami yang menonton dalam
studio juga dilibatkan langsung dalam drama.
Ini baru pertama kalinya saya mengalami. Okey, saya memang beberapa kali
melihat pertunjukan dari FAY namun baru kali ini ikut terlibat main meski hanya
seolah-olah jadi penonton bayaran di deretan penonton. Tidak apa, saya bahagia
dan cukup puas.
Saya kagum dengan akting para pemainnya. Sebetulnya saya juga takjub
dengan pemilihan tema mereka tentang perempuan dan kecantikan tepat di hari
Kartini.
Urusan panggung, ya sudah tidak usah diragukan lagi, tim artistiknya
sudah bekerja dengan sempurna. Panggung LIP yang begitu adanya bisa disulap
bimsalabim menjadi studio televisi nasional. Ini kreatif sekali. Masalah
pencahayaan dan properti; saya tidak tahu harus komentar apa karena bagi saya
ini sudah hidup.
Para aktor dan aktris bermain dengan penuh penjiwaan. Saya pernah melihat
mereka dengan bergaya sebagai tokoh lain di drama lain dan itu benar terlihat
perbedaannya. Mereka benar-banar menguasai peran meski saya tahu bahwa mereka
baru mulai latihan sejak akhir Desember lalu.
Yang sedikit mengganjal bagi saya adalah ending dari cerita. Saya masih berharap Sara Medina punya konflik
lain setelah bermanis-manis dengan ibunya. Atau mungkin si Adelia Zara dan
Katrina Sulistyawati, sungguh saya berharap konflik keduanya semakin memanas
dan sedikit membuat keributan di studio.
Perempuan dan cantik
Saya berterima kasih sudah diundang untuk menyaksikan teater Sulamin
Bibir Saya, dong! dimana ini merupakan ruang untuk mengungkapkan kecantikan
dalam berbagai versi. Tidak ada yang salah dan benar itulah cantik.
Perempuan hidup dan berproses membangun identitas secara
berkesinambungan. Termasuk mengenai bagaimana perempuan menjadi cantik dan
mengapa dinilai cantik oleh orang lain.
Terima kasih kepada Nesia P. Amarasthi selaku sutrada yang sudah mau
saya wawancarai di akhir acara. Juga terima kasih berat kepada pimpinan
produksi Kakak Ita Yunita yang sudah memberi kesempatan pada saya untuk nonton
dan dapat barisan depan. Yeah, menang banyak.
Sebagai #gadisaAnggun teman perjalanan buku dan kamu, saya mendapat
banyak pemahaman baru lewat pertunjukan Sulamin Bibir Saya, dong! tidak hanya
konsep cantik namun tentang kebaikan, perempuan, keluarga dan ambisi.
Jangan pernah meremehkan
perempuan.
“Jangan berkata kasar. Jangan menyakiti orang lain terutama sesama
perempuan,” pesan ini meluncur dari bibir Ibu Elma untuk anaknya Sara Medina,
dialog tengah malam di rumah Sara Medina sesaat sebelum kecupan hari Kartini
mendarat dari anak untuk ibunya.