Showing posts with label Gadis Anggun. Show all posts

Perkara Mandi Parfum Hingga Memilih Jodoh

Sebagai Gadis Anggun lajang diusia mendekati kepala tiga, rasanya banyak banget yang memandang kasihan kepada saya. Dari tatapan dan ucapan orang-orang di sekitar, bisa disimpulkan bahwa mereka menganggap keadaan saya begitu menyedihkan. Seolah saya ini makhluk yang kurang kasih dan sayang.

Tidak jarang nasehat (baik yang diucapkan secara santun mau pun terkesan menghakimi) sering datang menghampiri. Rasanya ada saja yang bisa mereka omongkan tentang saya.

Saya yang kesepian. Saya yang tidak punya teman. Saya yang introver. Saya yang sangat nelangsa. Saya yang terpuruk. Saya yang tidak bahagia. Saya yang belum bisa membahagiakan orangtua. Saya yang menua tanpa pendamping. Saya yang dibilang tidak laku. (Mendadak ingin jualan sesuatu).

Bukan hanya kaum old, mereka yang seumuran dengan saya rajin sekali bertanya. Mengorek segala macam hal. Mending kalau sekali dijawab udah, lha ini semacam kejar-kejaran.
Udah melebihi wartawan saja. Padahal wartawan yang selama ini mewawancarai saya biasa aja gak pernah tanya kapan saya bakal nikah. Ehe

Oh, baik lah. Masih banyak yang lain lagi. Saya tidak dan kadang bertanya apakan ini  ujian atau candaan yang dikirim Tuhan agar saya selalu bisa tertawa sekaligus berjuang menghadapi suara-suara dari kanan kiri?

Apa pun judulnya, saya  mencoba terbiasa dengan situasi ini. Bahkan lebih dari itu, saya mulai menikmatinya. Seolah sedang menikmati  gelato di siang nan terik.

Usia saya sudah bukan masanya usia emosian. Bukan pula usia galauan. Bagaimana nasibnya saya kalau sebentar-sebentar galauan? Padahal hampir setiap hari ada saja 'tatapan kasihan' untuk saya.

Belum lagi saya malas kalau harus muncul kerutan di wajah. Sia-sia dong rutinitas skin care dan mandi parfum yang tiap hari saya jalani. Oh tidak, saya tidak perlu mengeluarkan energi untuk menanggapi ocehan kanan kiri.


Dulu sekali memang saya sempat menargetkan diri untuk nikah di tahun 2020. Nyatanya di bulan ketiga tahun 2020 ini saya justru santai, jangankan mikirin nikah. Saya malah main-main dengan diri sendiri. Menantang diri sendiri untuk ini itu. Rasanya akan banyak hal yang kelak akan susah saya lakukan jika sudah menikah.

Lagian, di tahun ini saya kembali menjomblo dan masuk dalam barisan jomblo jomblo bahagia. Jadi pikiran untuk nikah segera tersingkir diganti dengan rencana rencana memanjakan diri sendiri. Mandi parfum, rebahan santuy, masak-masak, dan lirik sana sini. *Ampun ratjun memang

Bukan maksud abai dengan warning kepala tiga.  Saya hanya berkeyakinan kalau untuk mencintai orang lain maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah mencintai diri sendiri dulu.

Orang-orang yang kenal saya lebih dari satu dekade akan beranggapan saya ini orangnya pemilih. Padahal sebenarnya tidak juga. Saya bukannya pemilih. Tapi saya ini sering banyak enggak cocoknya. *Apa sih kalimat ini membingungkan sekali.

Intinya, saya ini orangnya kelewat pasrah. Tidak banyak menuntut. Namun jika ada satu hal yang enggak saya suka, ambyar sudah semuanya. Kadang saya menganggap diri sendiri terlalu tega. Terlalu jahat.
Udah ketemu orang baik-baik sesuai kriteria, eh begitu tahu ada  satu saja kebiasaan yang enggak saya banget, langsung lambaikan tangan: bhay.
Semudah itu bilang 'enggak'.

Perkara Jodoh


Katanya, jodoh kita adalah cerminan dari diri kita.
Ya sudah maka saya harus mencintai diri sendiri agar pasangan saya nanti juga seorang yang juga mau mencintai dirinya sendiri.
Simpel! Atau ribet?

Orang-orang yang mencintai diri sendiri biasanya enggak akan mudah merusak diri sendiri pun menyakiti orang lain. (Mini GK 2020)

Penting tahu siapa calon kita sebelum beneran mengikat hubungan yang akan dijalani sepanjang sisa hidup ini.
Ditahap ini asli saya masih gelap abu-abu. Nyali pun masih kembang kempis. Hari ini hayuk, besoknya nanti-nanti. Emang iya ini anaknya susah keluar dari zona nyaman. Tolong jangan dicontoh!

Pernah saya ketemu orang, baik banget, tapi suatu hari saya putuskan kalau orang ini enggak cocok dengan saya usai jamuan makan malam. Why? Kenapa bisa? Saat makan malam itu saya baru tahu kalau dia suka menyisakan makanan. Ini enggak benar. Ini enggak cocok buat saya.

Saya sangat mencintai makanan, maksudnya jika ada makanan di piring maka saya akan berusaha menghabiskannya.
Saya bukan orang yang berlebihan dalam makan pun dalam belanja. Selain karena hemat juga karena ingat gimana rasanya zaman pernah kelaparan. Susahnya ampun. Maka kalau sekarang bisa makan, yuk makan dengan bijak.
Gaya hedon, big no.

Saya juga tidak cocok dengan orang yang makannya berantakan. YaLord, beneran lihat orang dewasa makan dengan berantakan itu bikin stress. Okelah kalau makan sendiri di rumah sendiri tanpa orang lain. Kalau di tempat umum? Ah, tidak. Saya tidak cocok.

Daripada saya mengerutkan kening setiap hari, mending sudahi saja yang belum terlampau jauh.
Lebih damai dan nyaman.

Bagaimana dengan perokok?
Saya tidak pernah cocok dengan asap rokok. Gak ada zamannya bisa temenan sama satu ini. So, meski setampan apa pun laki-laki di depan saya, jika dia ketahuan hobi merokok, auto mundur alon-alon.

Saya baru akan sedikit merespon jika ada orang yang gaya komunikasinya asyik. Jika ngobrol bisa meluas sampai mana-mana pula tidak suka menghakimi. Saya tidak butuh orang yang sok jenius sok pinter sok maha tahu. Tapi butuh orang yang bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah diucapkannya.

Katanya dari mata turun ke hati. Okelah, jujur penampilan fisik kadang masih jadi hal pertama yang saya lihat. Ya iyalah, mana bisa menilai kadar keimanan seseorang padahal baru sekali jumpa. Udah pastilah fisik yang mudah diindera.
Bukan perkara dia glowing atau tinggi menjulang bak oppa-oppa Korea atau macem Orlando Bloom. Bukan, bukan yang gituan. Meski kalaupun ada yang gituan, bolehlah.

Fisik di sini lebih ke dia yang mencerahkan mata. Yang nyenengin dipandang. Enggak butek.
Punya tampilan yang rapi. 
Saking saya sukanya sama laki-laki rapi, sampai saya juga ikut-ikutan merapikan diri sendiri dulu. Malu oe kalau ketemu laki-laki rapi tapi sebagai Gadis Anggun malah saya terlihat semrawut.
Tolong dicatat, rapi yes, bukan glamor atau penuh dengan branded.

Penting juga laki-laki itu harum. Saya akan auto males kalau ketemu sama orang yang apek (baukkk). Hidung pesek ini terlalu sensitif untuk aroma-aroma.
Wangi bukan berarti harus guyur parfum sebotol juga, yes. *Saya pernah ketemu laki yang beginian, sungguh diluar ekspektasi

Yang standar kualitas super saja. Gak bau ketek. Rajin sampoan. Pakai parfum.
Nah demi mendapat someone yang demikian, maka saya mendukung diri dengan macak demikian adanya.
Saya juga haruslah wangi.
Kadar cinta saya  pada diri sendiri akan naik saat tubuh dalam keadaan wangi harum semerbak.

Saya sampoan minimal dua hari sekali. Mandi harus, meski kadang males parah.
Iya oe, demi dapat jodoh yang wangi saya harus rela pula mandi sering-sering.

Tapi kata teman, kalau sudah masuk kamar mandi maka saya akan lama keluarnya.
Ya gimana ya, mandi itu memulainya memang susah tapi kalau sudah nyentuh air maka akan susah buat udahan.
Demi menunjang keharuman paripurna saya stok body wash yang cocok.

Vitalis Perfumed Moisturizing Body Wash adalah satu merek body wash yang harumnya cocok untuk saya. Aromanya menenangkan dan enggak norak. Bagai mandi parfum jika sudah menyentuh lembut sabunnya.
Saya koleksi tiga jenis Vitalia body wash;
1. White Glow (Skin brightening) dengan kandungan Licorice dan Susu membantu mencerahkan kulit.
2. Fresh Dazzle (Skin refreshing) dengan kandungan Jeruk Yuzu dan Teh Hijau memberikan kesegaran saat mandi dan membuat mood lebih baik.
3. Soft Beauty (Skin nourishing) dengan kandungan Alpukat dan Vitamin E membantu menutrisi kulit dan menjadikannya lembap.

Sebenarnya saya sudah lama berhenti memakai sabun pabrikan. Itu karena salah satu teman mencoba produksi sabun sendiri. Saya lihat mulai dari cari bahan dan alat (termasuk beli susu) sampai pembuatannya. Jadi saya aman pakai sabun darinya.
Kasusnya beda lagi dengan Vitalis ini. Packaging cute. Botolnya tidak yang gede banget jadi bisa dipakai kalau mau jalan-jalan. Pula bukan botol kecil banget yang mulai saya hindari.

Pilihan mencoba mandi parfum dengan Vitalis tentu saja karena aroma. Saya suka wanginya. Hidung saya mudah luluh kalau ketemu aroma yang asyik. Dan auto ngomel kalau ketemu bau tak sedap.
Saat menyentuh kulit, sabunnya begitu lembut. Ada sensasinya saat dibalurkan ke kulit lalu dipijat sebelum diusap dan dibilas.
Ya semenarik ini ritual mandi saya, wajar kalau sering lama sampai membuat teman senewen.
Gak ada ceritanya mandi kok cuma lima menit. Ya mending gak usah mandi.
Lima menit itu cuma cukup buat cuci muka sama tuang sabun doang.

Selain wangi Saya juga akan merasa cocok dengan laki-laki penyuka buku.  Saya bisa berlama-lama dekat dengan orang yang punya hobi baca dan suka dongeng. Meski suara saya tidak terlalu seksi, tapi saya suka mendongeng. Jadi akan satu rasa jika ketemu orang yang bisa mencintai dongeng.

Jadi  teman-teman yang baca postingan ini, jikalau kalian menemukan ada laki-laki lajang cerdas dengan riwayat pekerja keras, good looking dengan keharuman paripurna sedang mencari jodoh, boleh berkabar ke Gadis Anggun.
Yah, namanya usahakan suka-suka, boleh-boleh saja.

Cantik Sejati atau Sekedar Sandiwara?


Sulamin Bibir Saya, dong!

Percakapan pada suatu hari...

“Mbak, alisnya mau dirapikan?”
Sebuah pertanyaan muncul dari mbak-mbak klinik kecantikan saat saya pertama kali mencoba facial di sana. Pertanyaan serupa sering saya terima, sering, bahkan bisa dipastikan setiap saya didandani (entah untuk pager ayu atau yang lain) periasnya bertanya demikian.
“Enggak.” Ini menjadi jawaban ampuh dari mulut saya. Semakin sering orang ingin merapikan alis saya maka semakin kuat saya untuk menolaknya.
Alis saya memang tidak serupa ulat bulu, ia hanya selarik hitam yang samar-samar, tidak begitu rapi atau pun lebat. Tapi saya menyukainya apa adanya. #halah

Forum Aktor Yogyakarta

Drama Kecantikan
Pengetahuan saya tentang kecantikan sangat minim. Saya perempuan yang jarang mengikuti perkembangan zaman. Apa yang saya rasa nyaman maka itu yang saya pertahankan. Apa pun bentuknya saya masih menyukai apa-apa yang membuat saya nyaman.
Masalahnya ternyata tidak simpel. Hidup butuh orang lain. Butuh berkelompok, bersosial saling mendengarkan, memberi dan menerima masukan. Hingga sampailah saya pada kesimpulan bahwa cantik itu tidak semata-mata hadir dari pandangan diri sendiri tapi melibatkan orang lain.
“Cantik itu bukan hanya wajah yang bersinar tapi juga hati yang lapang penuh kebijakan.”
Well, sering ya dengar obrolan seperti itu? Lalu benarkah seperti itu?
Saya pikir iya kecantikan dari dalam hati lebih utama. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau cantik fisik juga sangat berpengaruh besar dalam kehidupan. Sebagai contoh; perempuan-perempuan dengan fisik berkilau kadangkala lebih gampang mendapatkan pasangan atau kerjaan dibanding dengan perempuan dengan fisik jauh dari kata berkilau. Padahal belum tentu perempuan berfisik berkilau itu punya kecerdasan lebih dibanding perempuan berfisik jauh dari harapan. #duhmuter
Di sinilah drama-drama kecantikan mulai bergentayangan. Menghantui bahkan tidak jarak meneror. Entah bermula dari mana, pokoknya cantik fisik menjadi sesuatu yang dielu-elukan banyak orang. Pun yang terjadi dalam hari-hari saya. Puluhan tahun saya ini tidak membiasakan diri dengan pulasan gincu mau pun percikan parfum. Namun begitu masuk ke lingkungan lebih luas dengan teman-teman lebih banyak dari segala bidang, mau tidak mau saya harus ke kasir untuk menukar rupiah dengan sebatang ginju, bedak, minyak wangi dan kadang kala pensil alis. Saya termakan kata-kata mereka yang bilang bahwa perempuan akan lebih terlihat jika berdandan.
Tidak hanya masalah dandanan, urusan berat badan juga menjadi obrolan serius menyangkut sebuah definisi kecantikan. Diet ketat dan olahraga keras menjadi salah satu cara yang ditempuh banyak orang untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal.
Terus terang saya termasuk yang mengagumi orang-orang dengan bentuk badan ideal ini. Meski yang saya maksud ideal kadang kala tidak sesuai dengan harapan orang-orang. Bagi saya ideal itu enak dilihat, enggak ngebosenin dan bisa membuat teringat sepanjang waktu. #duhdek
Selain masalah wajah, bentuk badan juga ada hal lain yang membuat kecantikan itu menjadi bahan kajian yang tak akan berkesudahan yaitu tentang lingkar dada, perut dan bokong. Yang ini sungguh membuat saya pusing. Selalu saja ada alasan orang untuk mencari celah (kurang) dari definisi kecantikan tersebut.
Cantik memang terlalu drama. Selalu menjadi polemik diantara kesemrawutan hidup yang lain. Drama kecantikan saya pikir tidak akan pernah menemui kata tamat.

Sulamin Bibir Saya, dong!
Pengetahuan saya tentang drama, teater, dunia panggung sangatlah minim. Seminim pengetahuan saya tentang kecantikan. Namun Jumat malam (21/04/2017) kemarin menjadi salah satu malam yang sulit untuk dilupakan.
Seorang kawan dari Forum Aktor Yogyakarta (FAY) mengontak saya jauh hari untuk ikut melihat pertunjukan teater mereka. Sudah saya bilang bahwa pemahaman saya tentang teater sangat buruk meski di SMP dulu saya juga gabung grup teater, namun teman tersebut tetap mengajak saya dengan alasan agar ada masukan atau review dari seorang awam teater. Dan okey, saya pun datang dengan senang hati lebih-lebih saat tahu bahwa pementasan teater itu menyinggung tentang perempuan dan kecantikan. Lalu abaikan bahwa di FAY ada kakak tamvan yang saya idolakan.
Saya baru tahu ternyata pertunjukan teater dengan judul Sulamin Bibir Saya, dong! ini awalnya berawal dari obrolan perempuan-perempuan yang ada dalam FAY tentang mitos kecantikan. Lalu dilakukanlah riset panjang hampir satu tahun. Mulai dari membaca buku riset pustaka hingga terjun ke lapangan langsung berhadapan dengan tokoh-tokoh yang berpengaruh utamanya dalam dunia kecantikan.
Butuh banyak sumber guna meminimalisir adanya judgement ‘benar’ atau ‘salah’ dari pola pikir setiap individu tentang definisi cantik. Karena setiap orang punya penilaian sendiri tentang cantik, dan tidak boleh seorang yang lain menyalahkan atau membenarkannya. Seperti yang di awal saya bilang; cantik itu penuh drama, dia tidak mudah, rumit dan akan sukar menemukan kata tamat.


Teater dan Penonton
Saya merasa kurang saat para pemain berkumpul di depan penonton dan membungkuk memberi salam hormat yang artinya penampilan mereka telah usai. Saya kecewa pada detik ini.
Saya masih berharap ada kelanjutan dari pertunjukannya.
Seperti saya bilang, saya tidak terlalu paham dan jarang nonton teater, tapi kali ini saya merasa bahagia sejak pertama berdiri di depan pintu teater menunggu pintu di buka.
Teater Sulamin Bibir Saya, dong! dikonsep serupa talkshow sebuat televisi. Ada studio, pembawa acara, co-host, bintang tamu, kru, produser pelaksana dan penonton. Ya sekali lagi penonton, kami yang menonton dalam studio juga dilibatkan langsung dalam drama.
Ini baru pertama kalinya saya mengalami. Okey, saya memang beberapa kali melihat pertunjukan dari FAY namun baru kali ini ikut terlibat main meski hanya seolah-olah jadi penonton bayaran di deretan penonton. Tidak apa, saya bahagia dan cukup puas.
Saya kagum dengan akting para pemainnya. Sebetulnya saya juga takjub dengan pemilihan tema mereka tentang perempuan dan kecantikan tepat di hari Kartini.
Urusan panggung, ya sudah tidak usah diragukan lagi, tim artistiknya sudah bekerja dengan sempurna. Panggung LIP yang begitu adanya bisa disulap bimsalabim menjadi studio televisi nasional. Ini kreatif sekali. Masalah pencahayaan dan properti; saya tidak tahu harus komentar apa karena bagi saya ini sudah hidup.
Para aktor dan aktris bermain dengan penuh penjiwaan. Saya pernah melihat mereka dengan bergaya sebagai tokoh lain di drama lain dan itu benar terlihat perbedaannya. Mereka benar-banar menguasai peran meski saya tahu bahwa mereka baru mulai latihan sejak akhir Desember lalu.
Yang sedikit mengganjal bagi saya adalah ending dari cerita. Saya masih berharap Sara Medina punya konflik lain setelah bermanis-manis dengan ibunya. Atau mungkin si Adelia Zara dan Katrina Sulistyawati, sungguh saya berharap konflik keduanya semakin memanas dan sedikit membuat keributan di studio.

Perempuan dan cantik
Saya berterima kasih sudah diundang untuk menyaksikan teater Sulamin Bibir Saya, dong! dimana ini merupakan ruang untuk mengungkapkan kecantikan dalam berbagai versi. Tidak ada yang salah dan benar itulah cantik.
Perempuan hidup dan berproses membangun identitas secara berkesinambungan. Termasuk mengenai bagaimana perempuan menjadi cantik dan mengapa dinilai cantik oleh orang lain.
Terima kasih kepada Nesia P. Amarasthi selaku sutrada yang sudah mau saya wawancarai di akhir acara. Juga terima kasih berat kepada pimpinan produksi Kakak Ita Yunita yang sudah memberi kesempatan pada saya untuk nonton dan dapat barisan depan. Yeah, menang banyak.
Sebagai #gadisaAnggun teman perjalanan buku dan kamu, saya mendapat banyak pemahaman baru lewat pertunjukan Sulamin Bibir Saya, dong! tidak hanya konsep cantik namun tentang kebaikan, perempuan, keluarga dan ambisi.
Jangan pernah meremehkan perempuan.
“Jangan berkata kasar. Jangan menyakiti orang lain terutama sesama perempuan,” pesan ini meluncur dari bibir Ibu Elma untuk anaknya Sara Medina, dialog tengah malam di rumah Sara Medina sesaat sebelum kecupan hari Kartini mendarat dari anak untuk ibunya.