agenda,
Ketika teman-teman SMA sibuk mengurus rencana pendidikan selanjutnya, saya harus legowo hati untuk sejenak mengubur mimpi meraih gelar sarjana. Kondisi ekonomi keluarga tentu jadi faktor utama.
Ketika yang lain melangkah menuju halaman universitas, saya justru melangkah ke sebuah pabrik usang nan ganas. Itulah pertama kalinya saya benar-benar resmi mengenal dunia buruh.
Tidak butuh persyaratan sulit, sekali wawancara langsung diterima. Namun syarat utama yang sesungguhnya adalah sebelum kerja harus mau mengikuti 'kelas training'.
Saya diterima di pabrik garmen pakaian dalam. Yang belakangan saya tahu bahwa pabrik seperti ini banyak sekali di Indonesia.
Selama sebulan mengikuti training tanpa dibayar dan justru harus bayar kos dan makan. Bodohnya saat itu saya iya iya saja, namanya gak paham.
Belum lagi pas masuk jadi karyawan (buruh) ternyata kerjanya berat, agak kurang sebanding dengan target yang diharapkan pabrik. Kerjanya juga semacam kerja rodi.
Pengalaman saya zaman masih jadi buruh diikuti oleh sepupu. Bedanya, sepupu kerja di pabrik baru dan dia tekun jadinya kelihatan nyata hartanya (hasilnya). Sepertinya pabrik zaman sekarang sudah mulai sadar untuk menerapkan UMR non kaleng-kaleng. Beda zaman saya dulu.
Lagi, upah lembur lebih manusiawi. Sayangnya jatah istirahat (libur) masih tak ada bedanya dengan zaman kolonial dulu. Sepupu bahkan tidak bisa balik sebulan sekali. Libur hanya hari Minggu itu kadang juga kemakan jadwal lembur.
Iya sih, uang lembur itulah yang kadang bisa bikin kaya. Kalau enggak ngambil lembur, jangan harap bisa kredit rumah. Ehe.
Dari pengalaman yang pernah tercipta dalam sejarah hidup, tidak heran jika sekarang setiap hari buruh nasional banyak para pekerja yang melakukan demo. Tujuannya sama saja, mencari keadilan dan kesejahteraan. Ya meski sering harus 'menelan' kecewa.
Perkara buruh memang tidak bisa selesai dalam setahun dua tahun. Adalah PR panjang bagi pemimpin-pemimpin negeri. Buruh, seperti halnya saya tidak bisa kalau hanya mengandalkan 'kekuatan' sendiri.
Terlalu banyak regulasi yang harus didobrak. Bagaimana pun tidak ada orang yang sudi untuk terus jadi 'budak'.
Hari buruh nasional yang diperingati setiap tanggal 1 Mei menjadi momentum sekaligus pengingat, masih banyak ketidakberesan dalam dunia tenaga kerja.
Undang-undang perlindungan tenaga kerja butuh dikaji lebih lagi. Agar bisa melindungi kaum buruh bukan mereka pada jutawan. Agar tidak lagi terjadi diskriminasi.
Kalau saja saat itu saya punya motivasi atau orang yang mendukung pendidikan saya, paling tidak menyemangati, mungkin saat ini saya sudah 'jadi orang'. Mungkin ya, mungkin.
Tapi apapun ceritanya pada akhirnya saya hanya bisa menerima. Kalau menyalahkan masa lalu, kok ya kelihatan banget gak bersyukur.
Toh meski pernah jadi buruh dan sekarang kerja seenaknya saja (bukan serabutan, sebut saja freelance) saya tetaplah perempuan mandiri. Perempuan yang masih kuat menantang kekejaman dunia. Pula tidak pernah tergantung pada pihak lain.
Saya Perempuan dan Saya Buruh
Saya perempuan dan saya buruh
Meski tidak bertahan lama, saya pernah tercatat sebagai salah satu buruh di sebuah pabrik garmen. Karier sebagai buruh sudah saya tempuh jauh hari bahkan sebelum menginjak kepala dua.Ketika teman-teman SMA sibuk mengurus rencana pendidikan selanjutnya, saya harus legowo hati untuk sejenak mengubur mimpi meraih gelar sarjana. Kondisi ekonomi keluarga tentu jadi faktor utama.
Ketika yang lain melangkah menuju halaman universitas, saya justru melangkah ke sebuah pabrik usang nan ganas. Itulah pertama kalinya saya benar-benar resmi mengenal dunia buruh.
Tidak butuh persyaratan sulit, sekali wawancara langsung diterima. Namun syarat utama yang sesungguhnya adalah sebelum kerja harus mau mengikuti 'kelas training'.
Saya diterima di pabrik garmen pakaian dalam. Yang belakangan saya tahu bahwa pabrik seperti ini banyak sekali di Indonesia.
Selama sebulan mengikuti training tanpa dibayar dan justru harus bayar kos dan makan. Bodohnya saat itu saya iya iya saja, namanya gak paham.
Belum lagi pas masuk jadi karyawan (buruh) ternyata kerjanya berat, agak kurang sebanding dengan target yang diharapkan pabrik. Kerjanya juga semacam kerja rodi.
Pengalaman saya zaman masih jadi buruh diikuti oleh sepupu. Bedanya, sepupu kerja di pabrik baru dan dia tekun jadinya kelihatan nyata hartanya (hasilnya). Sepertinya pabrik zaman sekarang sudah mulai sadar untuk menerapkan UMR non kaleng-kaleng. Beda zaman saya dulu.
Lagi, upah lembur lebih manusiawi. Sayangnya jatah istirahat (libur) masih tak ada bedanya dengan zaman kolonial dulu. Sepupu bahkan tidak bisa balik sebulan sekali. Libur hanya hari Minggu itu kadang juga kemakan jadwal lembur.
Iya sih, uang lembur itulah yang kadang bisa bikin kaya. Kalau enggak ngambil lembur, jangan harap bisa kredit rumah. Ehe.
Dari pengalaman yang pernah tercipta dalam sejarah hidup, tidak heran jika sekarang setiap hari buruh nasional banyak para pekerja yang melakukan demo. Tujuannya sama saja, mencari keadilan dan kesejahteraan. Ya meski sering harus 'menelan' kecewa.
Perkara buruh memang tidak bisa selesai dalam setahun dua tahun. Adalah PR panjang bagi pemimpin-pemimpin negeri. Buruh, seperti halnya saya tidak bisa kalau hanya mengandalkan 'kekuatan' sendiri.
Terlalu banyak regulasi yang harus didobrak. Bagaimana pun tidak ada orang yang sudi untuk terus jadi 'budak'.
Hari buruh nasional yang diperingati setiap tanggal 1 Mei menjadi momentum sekaligus pengingat, masih banyak ketidakberesan dalam dunia tenaga kerja.
Undang-undang perlindungan tenaga kerja butuh dikaji lebih lagi. Agar bisa melindungi kaum buruh bukan mereka pada jutawan. Agar tidak lagi terjadi diskriminasi.
Motivasi
Mengingat zaman menyedihkan kala jadi buruh saya mendadak sedikit menyesal. Harusnya saya pilih melanjutkan sekolah saja dibanding sok daftar jadi buruh. Toh nyatanya saya dan buruh tidak pernah cocok. Tepatnya, saya adalah orang yang ogah kalau harus tunduk dan mengikuti aturan semena-mena.Kalau saja saat itu saya punya motivasi atau orang yang mendukung pendidikan saya, paling tidak menyemangati, mungkin saat ini saya sudah 'jadi orang'. Mungkin ya, mungkin.
Tapi apapun ceritanya pada akhirnya saya hanya bisa menerima. Kalau menyalahkan masa lalu, kok ya kelihatan banget gak bersyukur.
Toh meski pernah jadi buruh dan sekarang kerja seenaknya saja (bukan serabutan, sebut saja freelance) saya tetaplah perempuan mandiri. Perempuan yang masih kuat menantang kekejaman dunia. Pula tidak pernah tergantung pada pihak lain.
Aku bisa memahami situasi Mbak Mini sih, soalnya adikku juga gak bisa lanjut ke bangku kuliah, dia malah harus kerja karena keadaan ekonomi keluarga lagi sulit. Belum lagi ditambah situasi kek gini, kudu benar sabar dan terus berusaha. Semangat selalu Mbak Mini
ReplyDeleteTapi waktu itu pola pikirnya masih belum seperti sekarang sih. Zaman Facebook aja belum lahir. Jangankan dapat info ini itu, tahu ada beasiswa aja enggak.
DeleteSekarang ketika sudah paham dan bisa akses banyak info ngambil deh beasiswa, lumayan bisa kuliah bisa nambah ilmu dibayar pula. Waks
Semangat pantang menyerah Mbak, jadi perempuan mandiri dan bermanfaat bagi banyak orang lain. Saya pernah ngalami jaman lulus SMA, krn belum bisa lanjut kuliah, nglamar-nglamar kerja ke toko-toko dan ditolak dengan sukses. Akhirnya jadi "freelancer" ngerjain bikin amplop yang borongan. Dan sorenya ikut ngajar ngaji
ReplyDeleteWih bisa ngajar ngaji segala. Keren kak. Jadi manfaat banget waktunya.
DeleteIya dong kita harus mandiri enggak bergantung pada orang lain. Ribet kalau harus bergantung
tidak ada masa lalu yang buruk mba Mini, semuanya adalah baik tergantung bagaimana kita melihatnya, dengan jadi buruh mungkin mba bisa setangguh sekarangkan, dan freelancer itu menurut saya hebat loh mereka bisa mengatur waktu, keuangan, bekerja keras, yang kerja dikantoran kan hanya terlihat enaknya saja, saya mengalami kerja kantoran ada beban mental tersendiri juga malah bayangin enak banget ya yang kerja freelancer waktunya bisa diatur sendiri, balik lagi intinya adalah bersyukur. sharing pengalaman yang keren mba Min
ReplyDeleteSepertinya Wang sinawang, Kak. Kalau aku jelas gak bisa kerja dibawah tekanan. Lebih memilih kerja sendiri, mungkin karena memang males ya dan masih belum bisa percaya banyak orang.
DeleteI'm proud of you Mbak. Ntah kalau aku, mungkin bakal beda cerita. But, kamu memilih untuk mandiri. Emang miris kok kalau masih jadi budak di negeri ini. Apalagi yang outsourcing, hmm. Ya, hanya bisa banyak bersyukur aja. Setidaknya, lebih baik memiliki nafkah untuk keluarga. Btw thanks ceritanya ya Mbak. Membuka pandanganku.
ReplyDeleteKepikiran dong sama banyak orang yang bahkan untuk jadi 'budak' saja kesulitan karena tidak tahu caranya atau karena emang tidak memenuhi syarat.
DeleteSebenarnya jadi buruh itu gak masalah, halal. Saya aja yang kadang gak kuat. Lebih pilih jauh dan malah hidup seadanya. Mungkin kalau tetap jadi buruh sudah bisa tuh kebeli satu apartemen
Semula jadi buruh, tak menyangka kan Mbak Mini sekarang jadi penulis produktif. Tentu jadi pengalaman dengan memori tersendiri walaupun ternyata ga berjodoh kerja di pabrik garmen. Memang kompleks sih urusan buruh dan pabrik di tanah air, butuh kerja sama semua orang, ga cuma buruh dan majikan tetapi juga anggota dewan yang punya wewenang bikin kebijakan. Salut Mbak Mini akhirnya sekarang mandiri, freelance juga asyik bisa dikerjakan di mana saja dan tetap menghasilkan. Semoga produktif dan laris bukuny!
ReplyDeleteTerima kasih kakak. Iya seneng itulah kuncinya. Bagi manusia yang gak doyan tekanan, freelance adalah jalan hidup yang lumayan. Meski sejujurnya gak nolak juga kalau berjodoh dengan PNS
DeleteSemuanya adalah perjalanan hidup mba, saya pun sama pernah mengalami masa masa sulit awal awal keluar sekolah. Semoga semuanya menjadi bahan motivasi bagi kita di hari esok
ReplyDeleteIya kakak. Sepertinya usia lulus sekolah menengah adalah usia galau galau bingung dengan pencarian jati diri dan segala abrek persoalan yang seolah tiba-tiba dijatuhkan brek
DeletePengalaman Mba Mini banyak juga selama menjadi buruh, beda banget ya dgn buruh jaman skrg dimana buruh sekarang UMRnya mungkin jauh lebih baik dibandingkan dgn jaman Mba dulu..
ReplyDeleteUntuk gaji sepertinya udah transparan karena banyak LSM dan undang-undang yang mengawasi pula mengatur. Cuma ya emang fisik gak bisa membantah, ada saja lalainya yang itu jauh dari harapan
DeleteSubhanallah wanita yang Kuat, Tabah dan Tangguh 🤠
ReplyDeleteSemoga Kesehatan, Kelancaran Rezeki dan Kebahagiaan selalu menyelimuti hidup kk. Amiin amiin 💃
Aamiin.
DeleteDoakan ya kak hari ini sudah membuka pintu yang lain. Pintu yang semoga nanti bisa jadi tempat untuk membantu yang lain lagi
Masya Allah, semoga Allah selalu memberikan kita kemudahan dan kekuatan agar selalu bersemangat berusaha ya, mbak. Hebat ceritanya.
ReplyDeleteAamiin. Iya pasti selalu ada pembelajaran bermakna dalam setiap langkah yang kita jalani. Apa pun itu pasti ada masa masanya kangen
DeleteWah pengalaman adalah guru terbaik ya Mini. Tentunya skrg pasti lebih baik dengan berkarya sbg penulis kece ya. Semoga sukses selalu kedepannya ya. Aamiin.
ReplyDeleteEmang ngga mudah jadi buruh, kkn nya nyata banget
ReplyDeleteSaya pernah beberapa tahun kerja di pabrik tekstil dan garmen walau sebagai chief accounting tapi suka jalan jalan dan ngobrol jadi lumayan tau
Saya selalu memandang buruh perempuan sebagai tenaga kerja yang istimewa, karena dia mau kerja dengan peraturan yang kadang berubah.Trus kadang kalo dapat bos yang perilakunya buruk, jadi susah. Perjalanan hidup yang sekarang menjadi pelajaran penting ya. Semangat upgrade diri, alhamdulillah sekarang menjadi penulis serba bisa
ReplyDeleteSemngat Miss mini. Aku juga pernah jadi buruh di balik layar. Setidaknya sudah pernah merasakan beratnya kerja sama orang, wajib laksanakan perintah, jatah libur aja masih ditelpon2, seakan2 hidup hanya untuk kerja & kerja. Tapi ini justru menambah pengalaman 😎💪
ReplyDelete