agenda
Metamorfosis Rakyat Jelita
“Jika kamu tidak menangis bukan berarti kamu tidak bersedih. Jika kamu tersenyum belum tentu kamu bahagia.” #RadioRoman
Saya cukup dekat dengan penggalan quote tersebut. Tentang pura-pura baik-baik saja sementara kenyataan tidak sebaik yang diindera mata. Sejak kecil saya sudah sering bersinggungan dengan ‘perbedaan’ antara lahir dan batin. Meski begitu, saya penganut ajaran: Bumi akan masih terus berputar tak peduli dengan perasaanmu.
Semua bermula dari keluarga. Benar apa kata orang-orang bahwa keluarga adalah sumber segala sesuatu. Keluarga bisa jadi cerminan atau indikator keberhasilan seseorang. Ya meski tidak semua hipotesis ini berlaku di kehidupan nyata utamanya dewasa ini.
Keluarga saya adalah keluarga kecil bahagia. Saya sebut bahagia bukan berkecukupan. Syarat bahagia dikeluarga saya adalah manut dan tidak banyak buka suara.
Sebagai anak bungsu saya selalu ‘manut’ dengan kata mereka orang dewasa. Saya selalu tampil cukup dengan yang saya punya meski kadang kala itu adalah bentuk kebohongan paling saya benci sampai hari ini: membohongi diri sendiri.
Bungsu Dalam Belenggu Prelove
Sebagai si bungsu saya pasrah setiap kali menginginkan barang baru namun dapatnya barang prelove dari mereka yang dewasa. Saya harus merasa cukup dengan warisan itu sebab jika merengek sedikit saja maka akan menimbulkan paceklik atau krisis mental moril bagi seluruh keluarga.
Maka ketika menginginkan tas, saya mendapatkan tas bekas kakak. Saat ingin sepatu, sepatu di depan pintu pindah ke kaki saya.
Tidak cukup sampai sini. Kadang kala barang-barang prelove ini kondisinya sudah mengenaskan, sudah seharusnya dimuseumkan namun justru pindah ke badan saya. Hasilnya teman-teman seusia saya menatap seolah saya ini benda purba yang baru saja diberi nyawa oleh Paman Gopeto.
Kalau pun ada barang prelove yang masih layak tetap saja sangat menganggu karena usia saya dan kakak terpaut cukup jauh, jadi barang dia biasanya sudah ketinggalan zaman dan seringnya kebesaran sebab kondisi tubuh saya yang jauh lebih kecil dibanding kakak.
Kesimpulannya saya pernah mengalami masa di mana saya menjelma bagai benda purba (bernyawa) dengan pakaian kebesaran model zaman prasejarah yang berani muncul di koridor sekolah tanpa peduli dengan tatapan dan tawa seantero sekolah.
Semakin bertambah usia, kedewasaan seseorang semakin diuji. Saya yang dulunya anak manutan dengan atribut kebesaran mulai merasa risi pada keadaan yang seperti itu terus. Timbul niatan untuk sesekali memberontok meminta lebih. Sayang disayang, selama ini saya dibesarkan penuh cinta kasih dengan tanpa pernah menerima ajaran pemberontokan. Jadilah saya ingin memberontak tapi tidak tahu caranya.
Diam-diam setiap tahun selalu mengharapkan kado ulangtahun namun tidak pernah ada. Mungkin saya adalah satu-satunya anak yang semasa SD tidak pernah sekali pun mendapat kado ulangtahun alih-alih kue ulangtahun. Saya mengingatnya dengan rekaman utuh di pikiran. Bingung juga kenapa bisa seperti itu?
Kado di Hari Ulangtahun
Tradisi ulangtahun dan bagi-bagi kado tidak pernah dikenalkan di keluarga kecil bahagia tempat saya tinggal.
Hal ini pula yang membuat saya tumbuh jadi pribadi yang juga malas untuk berkirim kado ke orang lain. Prinsip masa muda saya adalah sama dengan prinsip yang ditamankan sejak saya bayi bahwa: tidak usah belanja barang-barang yang tidak perlu, jika masih bisa pakai barang lama ngapain beli baru.
Saya tidak peduli dengan kado-kado. Sampai akhirnya sesuatu menjungkirbalikan saya ke lembah kelembutan.
Benar kata sebuah buku bahwa kejutan adalah sesuatu yang bisa merubah perasaan.
Pada awalnya hanya satu kado, lalu datang kado berikutnya dan berikutnya. Ternyata dunia remaja saya bergerak secara alami. Dari anak-anak tidak peduli menjelma remaja dengan teman-teman yang mulai saling terikat. Mau tidak mau saya membuka diri untuk mereka yang berusaha mengikat saya.
Dari sebuah kota kado (yang untuk sementara kita abaikan isinya) hari-hari saya berubah. Sama seperti yang sering orang bilang, jangan mencubit kalau tidak mau dicubit, berikan kehangatan pada orang lain maka kamu akan dihangatkan oleh yang lain. Kalau ada kado mampir ke alamat saya, maka harus ada kado yang terkirim dari alamat saya.
Masalahnya di mana dapat uang untuk membeli kado?
Sebuah Prinsip Dasar
Ajaran keluarga yang sampai hari ini saya imami adalah menjauhlah dari hutang piutang. Otomatis saya harus sebisa mungkin tidak berhutang atau berkeredit. Kalau harus mendapatkan kado maka saya harus beli secara tunai.
Sejak kado pertama itu saya mula menabung. Menyisihkan uang sedikit demi sedikit guna mengimbangi rasa solidaritas antar teman.
Mencintai Diri Sendiri Baru Mencintai Orang Lain
Kenyataannya ternyata kawan tidaklah selamanya kawan. Pula musuh dalam selimut selalu ada.
Seperti cangkir yang sewaktu-waktu bisa retak meski tanpa diawali pukulan, begitun persahabatan. Sering kesalah pahaman membuat persahabatan rusak.
Kado hanya tinggal kado.
Hal ini membuat saya sadar bahwa kado saja tidak cukup. Terlebih karena demi mengirim kado-kado itu saya jadi menahan diri untuk berbelanja yang lain (keinginan sendiri). Padahal sejak kecil saya sudah menulis barang apa saja yang sangat ingin saya miliki.
Sebagiannya memang saya butuhkan untuk membantu keseharian saya alias benda penting. Sebagian yang lain masuk daftar barang impian hanya karena saya ingin memilikinya bukan ingin memanfaatkannya.
Rakyat Jelita Jugalah Manusia Gila Diskon
Saya lupa darimana julukan ini berasal, hanya saja saya bahagia menyandang gelar #RakyatJelita.
#RakyatJelita semacam ungkapan tidak penting namun sangat berpengaruh mengingat metamorfosis dari mahkluk purba hingga sekarang ini.
Anehnya dari dulu saya masih selalu merawat keinginan untuk memiliki barang-barang berikut:
~ sepatu gunung
Keinginan memiliki sepatu jenis ini baru terbersit sekitar lima tahun lalu saat saya hamoir hipotermia di Merbabu. Sebagai penyuka gunung saya merasa wajib punya sepatu jenis ini.
~ wedgess 10 senti
Saya menyukai segala aksesoris perempuan. Meski tidak terlalu menggilai sepatu/ sendal berhak tinggi, saya mewajibkan diri untuk memilikinya minimal tiga pasang. Hari ini saya sudah punya tiga dengan tinggi hak delapan sentimeter. Kalau masih ada kesempatan saya ingin memiliki yang sepuluh senti. Sepatu jenis ini membuat saya tampak semakin percaya diri.
~ satu set alat makeup
Siapa yang enggak mau tampak glowing ala-ala dalam sebuah pertemuan? Meski sedang sendirian saya juga ingin selalu tampak cetar. Saya lagi menggilai riasan-riasan ala-ala beauty influence. Saya bahkan menerjunkan diri ke lembah para beauty-beauty ini demi ingin menyerap jurus ala-ala merias diri.
Makeup adalah art. Seni selalu tanpa batas. Saya suka ini.
Sayangnya peralatan makeup masih terbilang mahal untuk kantong saya. Terus terang saya iri kepada mereka yang dengan mudah berganti-ganti merk makeup.
~ kain tradisional dan tas etnik
Demi apa sepanjang karir saya sebagai #RakyatJelita, kain khas daerah-daerah di Indonesia selalu bisa memeluk dengan sepenuh cinta. Sedikit-sedikit saya mulai mengoleksinya. Terus terang saya baru mengenal tenun, ulos, batik dan songket.
Selain kain, noken dari Papua juga cukup menyita perhatian saya. Tas-tas anyaman dari serat kayu atau akar-akaran selalu berhasil menarik saya untuk memilikinya. Ini membuat saya terenyuh mengingat pendapatan tidak sebanding dengan keinginan-keinginan (saya).
~ koper
Saya tidak suka piknik kecuali piknik dibayar.
Saya takut tidak bisa ‘berobat’ jika ketahuan kecanduan piknik. Maka dari itu saya sering kali bersiasat bagaimana caranya biar bisa piknik dengan tenang tanpa memikirkan biaya-biaya admin.
Lantas ketika tawaran piknik berdatangan, hal selanjutnya yang saya butuhkan ternyata adalah koper. Saya punya backpack 18 inch. Cukup elegan dibawa piknik ke segala medan. Namun ternyata saya tetap butuh koper untuk piknik gaya elegan.
~ jas hujan dan baju renang
Mohon maaf sebesar-besarnya kepada Ordo Pisces karena saya mau mengaku bahwa selama ini saya adalah #RakyatJelita dari kaum Pisces yang tidak bisa berenang dan bahkan takut air.
Sebagai pengelaju motor di segala suasana, jas hujan sangat saya butuhkan. Beberapa kali beli jas hujan dan berakhir dengan sobek di sana sini karena ternyata jas hujan itu tidak terlalu kuat serupa rindu.
Untuk baju renang, sungguh ini adalah pakaian yang saya inginkan sejak lebih dari satu dekade. Saya hanya ingin bisa memakai baju renang lalu bisa belajar renang dengan bahagia.
~ bermacam-macam buku
Buku telah menjadi bahan pokok serupa nasi. Saya tidak bisa hidup tanpa buku. Kalau ada diskon buku, saya akan ikut mengantri dilautan manusia penggila kata-kata.
Sederhana sekali keinginan #RakyatJelita semacam saya. Karena sederhana maka saya selalu mengupayakan untuk mencari diskonan ke sana ke mari.
Lazada 11.11
Demi mewujudkan keinginan sederhana namun tidak murah itu saya menunggu festival belanja Lazada 11.11 untuk berburu diskon. Percayalah, saya mungkin cuma memasukkan beberapa barang impian dalam postingan ini namun harus diketahui bahwa setiap barang punya cabang lebih dari sepuluh.
Tanggal 11 November bisa jadi kesempatan untuk berburu barang-barang impian. Sebagai pecinta diskon yang tidak mau rugi, saya sudah menyiapkan diri mulai dari instal aplikasi Lazada sampai mengecek saldo tabungan.
Hanya 24 jam pesta belanja akan berlangsung. Kalau memang harus gila saya akan menggila, demi sebuah barang impian.
Sejak kemarin saya bahkan sudah mengultimatum teman kos untuk instal Lazada dan memberi catatan barang belanjaan yang saya inginkan.
11.11 akan menjadi ajang balas dendam saya kepada ketidakberdayaan masa lalu. Saya juga sudah menyiapkan list nama orang-orang yang akan saya kirimi kado setelah saya menghabiskan 24 jam penuh diskon besar.
39 comments: