Showing posts with label mari sembuhkan Indonesia. Show all posts

Berhenti Sok Jadi Dokter

seberapa penting sarapan bagi Anda?

Dua tahun lalu menjadi titip balik bagi perjalanan hidup saya. Sebuah fakta mengejutkan dan harus dihadapi dengan apa pun hasilnya.
Air mata bukanlah jawaban dari segala masalah. Ia (air mata) hanyalah salah satu bentuk perasaan yang kadang tidak mampu diutarakan. Bukan sebuah cita-cita, memimpikannya pun tidak, seorang yang sangat dekat---dalam dirinya mengalir darah yang sama---lemah di bangsal rumah sakit.

Kalau ada yang bilang nasi telah menjadi bubur, masa lalu tak bisa lagi diulang; maka alangkah baiknya jika dititik ini melakukan sesuatu yang lebih manfaat, setidaknya buat diri sendiri tanpa sedikit pun mencelakai atau merugikan orang lain.

Hari itu (dua tahun yang lalu) saya membatalkan semua acara yang bahkan sudah saya persiapkan jauh hari sebelumnya. Saya sempat lembur malam malam untuk menunggu hari itu tiba. Nyatanya sebuah panggilan telpon merubah segala rencana hanya dalam hitungan sekian detik.

Telpon itu datang pagi, terlalu dini untuk sebuah kabar kurang menyenangkan. Terlalu mempengaruhi syaraf-syaraf dan segala kewarasan yang saya miliki. Telpon dari luar kota yang awalnya saya tidak yakin itu nomer siapa. Satu-satunya yang saya tangkap adalah kalimat "Mbakmu di rumah sakit. Kamu bisa ke Bekasi hari ini juga?"

Rumah sakit? Bayangan lorong-lorong mencekam dengan aneka mesin peyambung nyawa berkolaborasi dengan aroma karbol, obat-obatan dan tidak sedikit campuran ketakutan. Rumah sakit? Saya tidak pernah berharap bakal masuk lorong ini, meski hanya menjenguk/ mengantar kerabat yang sedang berobat.

Pandangan rumah sakit di otak saya sudah terlalu mengerikan. Tentang orang-orang yang butuh pertolongan tak hanya sekedar sentuhan lembut telapak tangan. Saya sudah pernah menunggui orang sakit di rumah sakit, jika harus disuruh mengulang lagi rasanya terlalu menyesakkan dada. Saya bukan orang kuat yang bisa menahan segala guncangan keadaan. Nyatanya saya ini orang yang banyak tidak percaya dan sering ragu jika dihadapkan pada dunia medis (termasuk dokter, obat dan bahkan rumah sakit). Saya selalu menjauhi hal-hal yang saya anggap mengerikan itu. Tapi hari itu, sebuah telpon yang terlalu dini menyeret saya untuk segera berkemas dan menghampiri lorong rumah sakit yang bahkan jauh dari tanah lahir saya; pula seorang diri.
http://vandjocdja.blogspot.co.id

Perempuan yang harus saya jenguk dan jaga adalah kakak kandung saya. Satu-satunya saudara kandung yang saya miliki.
Saya tiba di ruang inap dini hari (sehari usai terima telpon). Dalam ruangan yang dihuni oleh beberapa orang tersebut saya harus hati-hati dan waspada; kita tidak pernah tahu apa yang ada di rumah sakit (baca: kuman penyakit misal).
Saya tiba di samping ranjang dengan seorang tidur pulas di sana. Saluran infus terpasang dengan pongah seolah hendak berteriak "hai kamu yang enggak percaya padaku, lihat saudaramu membutuhkan aku lebih banyak dibanding kamu."
Saya ingin menangis tapi tangis itu hilang telah dibawa jarak yang panjang.

Saya tidak banyak bertanya selama menunggui kakak yang beberapa jam sebelumnya berjuang (seorang diri) di ruang operasi. saya tidak menyangka keluarga saya (yang jauh dari kata tajir) harus berurusan dengan ruang operasi yang menelan biaya lebih besar dibanding pajak tahunan seluruh kekayaan yang kami miliki.
Saya menahan diri untuk tidak terlalu larut dengan kenyataan yang begitu mencekik leher (juga mencolok mata).

Hingga pada akhirnya kakak saya menceritakan semuanya.

Berawal dari muntah

"Sebelumnya aku nungguin anak-anak yang sedang sakit di rumah sakit. Lalu pagi-pagi aku sakit perut. Muntah beberapa kali. Aku kira masuk angin. Minta dikerikin tapi belum ada yang selo. Aku tahan-tahan sampai enggak kuat dan hampir pingsan. Untung di rumah sakit jadi aku langsung ditolong suster dan masuk ruang penanganan. Aku langsung diperiksa bahkan di USG. Ternyata aku ada usus buntu. Usus buntu inilah yang sering membuatku merasa sakit perut dan ingin muntah setiap saat. Katanya usus buntu di dalam tubuhku sudah parah dan pecah, harus segera dioperasi dan dibersihkan."

Sampai di sini saya merasa ngilu. Saya tidak banyak komentar. Yang saya tahu, usus buntu itu bukan penyakit bahaya dan memang siapa saja bisa kena. Nmaun kalau usus buntu itu sampai pecah? Saya ngeri membayangkan tubuh itu terkontaminasi.

"Saat pembedahan itulah ditemukan kista yang cukup besar."

Kista? Apalagi ini? 
Bukankah ini sesuatu yang selalu ditakuti seluruh perempuan (utama perempuan lajang yang belum pernah menikah dan hamil) di muka bumi?
Kista? Pikira saya langsung ke organ yang hanya dianugerahkan kepada seorang perempuan; rahim.

"Aku ada kista. Sudah besar dan harus diangkat kalau tidak bahaya bagi tubuhku."

Operasi Besar

Jadi hari di mana saya menerima telpon di pagi hari itu, kakak saya sedang berjuang di ruang operasi untuk melakukan operasi besar. Tidak hanya satu operasi untuk usus buntu tapi juga untuk kista yang bersarang dalam tubuhnya.

Dua kenyataan yang membuat saya langsung kehilangan hampir seluruh tenaga. Apalagi setalah saya tahu apa saja efek dari operasi-operasi ini.
Kakak saya tidak akan kembali seperti dulu lagi. Dia harus banyak melakukan kontrok, suntik segala macam hormon dan obat, juga tidak bisa sebebas dulu kala ketika kesehatan masih merajai.

Kakak saya belum menikah dan dia merasa harus benar-benar sembuh dulu untuk bisa menikah. Padahal tidak ada larangan untuknya menikah tahun ini. Namun dia memilih untuk sembuh daripada menikah cepat.

Bagaimana mungkin kami tidak tahu bahwa ada sesuatu yang diam-diam tumbuh dan mengerogoti tubuh kakak saya? Bagaimana bisa?
Sama seperti bagaimana bisa ibu kawan saya tiba-tiba dinyatakan kanker tulang stadium akhir dan tak lama setelah ketahuan fakta ini beliau meninggal?
Kami semua tidak tahu akan hal ini. Kami baru kaget setelah semuanya terjadi.
salad

Salah menyalahkan

Mungkin ini semua berawal dari kesalahan diri sendiri.
Ujungnya salah menyalahkan.
Menyalahkan diri sendiri kenapa tidak sejak awal rajin kontrol atau konsultasi dokter.
Menyalahkan diri sendiri karena keseringan memakan apa saja yang dirasa enak padahal bisa jadi itu adalah seonggok sampah.
Tidak jarang menyalahkan tuhan karena memberi cobaan sedemikian hebat. Meski pada akhirnya kesalahan tetaplah dipikul sendiri. Sudah sakit, merasa bersalah pula.

Seperti kakak saya. Ia merasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia selama ini tidak menyadari tanda-tanda jika ada yang tidak beres dengan dirinya. Ia sering mengeluh sakit saat datang bulan, tapi ia merasa itu wajar lebih lebih setelah tahu tidak hanya dirinya yang merasakan sakit saat datang bulan tapi juga teman-temannya. Padahal seandainya dia mau sedikit membuka diri dan konsultasi misal ke bidan atau dokter, bisa jadi hal-hal yang menyerangnya bertahun-tahun ini bisa dicarikan solusi.

Kakak saya adalah mantan atlet lari marathon. Semasa remaja ia sering mengikuti pertandingan. Banyak piagam dan medali ia koleksi. Secara kasat mata kami melihatnya bertubuh sehat karena seorang atlit. Kami tidak pernah mengira jika tubuhnya yang menggendut ternyata digelayuti 'penyakit'.
Kami sama-sama beranggapan bahwa dia gendut karena sudah enggak pernah tanding dan lebih sibuk mengurus kerjaan dan kuliah. Ternyata dibalik itu semua, lemak-lemak jahat sedang berusaha membelit tubuh kakak saya.

Seolah masuk angin Stop Minum Jamu

Sering kakak mengeluh pusing dan mual. Seperti orang yang sedang masuk angin. Jika disuruh berobat dia bilang enggak usah dan hanya memilih dikerokin atau minum obat warung. 
Saya adalah orang yang paling benci dengan obat-obatan. Setidaknya di keluarga saya. Jika dirasa kurang enak badan saya buru-buru minum banyak air putih dan makan bermacam-macam buah. Saya sungguh tidak sudi untuk minum obat.

 Beda dengan Mamak yang pusing sedikit saja langsung pergi ke bidan untuk minta obat (dan ajaibnya obatnya selalu itu itu saja meski apa pun keluhan sakitnya dan simsalabim sakit mamak langsung sembuh).
Sementara kakak lebih memilih obat warung. Yang jelas-jelas itu sangat berbahaya (setidaknya begitu yang sering saya dengar dan baca lewat media).
Bapak tidak kalah dengan kakak dan Mamak, seberapa sering saya bilang untuk stop minum jamu di warung jamu gak jelas maka sesering itu juga dia akan mengulang dan mengulang. Saya akan menolak jika disuruh membelikan jamu, dan dia justru berangkat membeli sendiri. Padahal saya menolak karena saya curiga jamu-jamuan itu tidak tersertifikasi dan kenyataannya memang demikian.

Kini setelah apa yang terjadi di hidup kakak dua tahun lalu, keluarga lebih sering berhati-hati. Tidak sembrono memperlakukan obat dan sering bertanya pada saya sebaiknya gimana. Karena saya malas berurusan dengan rumah sakit maka saya lebih sering menganjurkan agar mereka makan saja makanan bergizi dalam hal ini sayur-sayuran yang ditanam di pekarangan sendiri.
Kebetulan saya mencatat khasiat khasiat tumbuhan yang tersebar di halaman rumah yang memang sengaja ditanam untuk sayur (yang ternyata diam diam mengandung unsur penyembuh).
ciplukan

Berhenti menjadi dokter

Saya sering bilang kepada diri sendiri untuk menjaga kesehatan diri sendiri. Jangan sampai tubuh ini kemasukan obat-obat kimia. Maka hal-hal berikut sering saya terapkan.

1. Banyak minum air mineral mateng dan kurangi gula
    Apa pun dan di mana pun saya harus mengisi tubuh dengan air mineral. sesekali minum kopi atau teh demi terlihat sama dengan teman-teman, namun saya batasi kadarnya pula lebih sering tidak pakai gula. Teman-teman saya memahami jika itu pilihan saya dan mereka tidak usil (meski sebelumnya ada yang mengatai saya sebagai si miskin yang gak bisa beli gula)
mentalfloss.com

2. Sering-sering jalan kaki (kalau perlu lari lari ringan)
    Saya bukan pelari marathon, tapi setidaknya saya puas dengan didikan mamak yang sejak kecil mengajarkan saya untuk jalan kaki bahkan berpuluh kilo. Saat kecil saya suka dengan kegiatan jalan kaki. Namun ketika dewasa (saat ini) agaknya jalan kaki sangat sulit dilakukan; bukan karena malas melainkan cuaca yang kurang mendukung. Panas akan membuat tubuh malas untuk jalan. Demi mensiasati hal ini, saya akan lebih awal bangun tidur dan melakukan jalan kaki keliling dusung, sekitar lima kilo. Cukup jalan kaki di pagi buta, belum ada niatan untuk lari.
menurut sembutopia jalan kaki minimal 10 ribu langkah atau 3,5 kilo perhari

3. Banyak konsumsi sayur dari halaman
    Jika ada yang tanya berapa harga sayur mayur di pasaran, maka saya akan menggeleng sebab memang saya tidak paham. Keluarga saya jarang belanja sayur ke pasar. Pekarangan rumah yang banyak tanahnya sudah kami sulap menjadi kebun sayuran dan obat pribadi. Kami menanam sayuran apa saya yang kiranya bisa dimakan. Kami hampir jarang pergi ke warung bahkan dalam tempo berminggu-minggu. Biasanya kami ke warung demi membeli minyak, gula jawa atau garam.
    Saya lebih mencintai mamasak bahan-bahan yang berserakan di pekarangan rumah. Kelor adalah salah satu tumbuhan yang wajib ada dan selalu dimakan setiap hari. Tidak susah mengolah kelor, kadang kala cukup dengan merebusnya dengan air panas. Sebentar saja di atas api lalu dimakan. Kelor adalah makanan gizi tinggi yang tidak rewel.
berkebum, menanam tanaman organik dan dipanen sendiri

4. Tidak menyetok makanan instan di rumah
    Datanglah ke rumah saya dan lihatlah apa yang kalian temukan di dapur saya. Kalian tidak akan menemukan berbungkus bungkus mi atau kecap atau saus atau mentega atau selai atau yang lainnya. Mungkin satu-satunya yang akan kamu temui adalah motto ukuran kecil (yang mana barang ini bisa awet berbulan-bulan). Saya secara pribadi tidak suka menyetok makanan instann karena hal ini hanya akan membuat Bapak saya rewel untuk minta dimasakkan. Sementara saya paham bahwa makanan instan sangat tidak baik dikonsumsi dalam jangka waktu panjang.
     Kakak saya termasuk yang sering konsumsi mi instan, jadi saya sudah punya alarm sendiri.
     Datanglah ke rumah maka maaf jika tidak ada soda atau sarden atau naget atau apalah makanan kemasan itu. Saya tidak pernah membelinya. Jika pun ada itu pasti hasil dari oleh-oleh atau parcel.

5. Mengurangi makan nasi putih
   Nasi adalah makanan murah bagi keluarga kami. Musim apa pun nasi selalu tersedia sebab kami ini adalah keluarga petani. Mamak setiap hari masak nasi. Bapak sepanjang hidup makan nasi. Saya? makan nasi namun porsinya lebih diatur. Jika dulu bisa makan nasi sampai tiga centong, belakangan saya lebih banyak berhitung dengan sendok dan itu pun mengunyahnya lama.
   Selain nasi, keluarga saya juga rajin memasak singkong. Umbi-umbian adalah barang wajib tanam di keluarga. Kami makan umbi-umbian bukan karena paham jika itu lebih baik dari nasi melainkan karena kami ingin makan yang lain. Setidaknya itu pemahaman saya mengenai umbi-umbian jauh sebelum mengenal ilmu-ilmu kesehatan dan sembutopia.
garut bahan pengganti nasi
6. Tidak merokok dan minum alkohol
    Rokok dan alkohol adalah musuh bagi saya. Saya bisa marah-marah gak jelas jika ada orang merokok di dekat saya. Saya sering menegur orang yang tiba-tiba merokok di tempat umum. Bapak saya berhenti merokok dan merasakan hidupnya lebih enakan dengan tidak merasa sesak.
     Saya tidak mau keriput dini, jadi saya menjauhi rokok dan alkohol.
hellosehat.com


7. Tidur lebih awal dan bangun lebih dini
   Berhenti begadang dan bangun lebih pagi adalah hal yang paling simpel dilakukan oleh sebagian orang namun juga sangat susah dilakukan oleh kebanyakan orang. Padahal jika bisa tidur lebih awal dan bangun lebih pagi makan kulit dan jantung akan semakin sehat (setidaknya ini yang saya baca di banyak artikel). Bukan berapa lama tidur melainkan seberapa berkualitas tidur Anda.

8. Berhenti sok jadi dokter
   ada yang bilang jika tubuh sering mengirim sinyal/ alarm jika terjadi sesuatu (tidak enak badan). Namun tidak jarang banyak yang mengabaikan alarm tersebut. Sudah merasa mual/ pusing namun tetap diam saja dan lebih memilih pergi ke warung untuk beli obat sakit kepala. Ujungnya tidak sembuh-sembuh dan makin parah.
  Padahal jika memang sakit itu sudah dirasa tidak wajar dan susah untuk ditangani dengan makanan bergizi dan minum air mineral, maka boleh jadi ke dokter adalah solusi.

kelor

Banyak yang menyalah artikan atau istilahnya menggampangkan tanda-tanda, seperti kakak saya misalnya, muntah dikira masuk angin nyatanya bukan. Sebab kalau bukan diri sendiri yang peduli, siapa lagi. Berhenti sok jadi dokter bisa dilakukan dengan menghentikan konsumsi obat-obatan warung yang diri sediri tidak tahu komposisi dan takarannya. Lebih baik konsul ke dokter sungguhan untuk hasil maksimal.

Gaya hidup sehat  memang seharusnya dimulai dari diri sendiri. Saya tidak bisa memaksa orang lain, Anda, untuk mengikuti gaya hidup saya yang rajin makan kelor. Namun setidaknya saya sudah membagikan sedikit pengalaman saya. Saya juga banyak belajar dari SEMBUTOPIA. Semoga dengan cerita ini saya bisa ikut kampanye mari sembuhkan Indonesia dengan gaya hidup sehat   dimulai dari diri sendiri detik ini.


Love,
Gadis Anggun