Showing posts with label Yogyakarta. Show all posts

Praktik Social Distancing di Desa


Social Distancing di Desa

Kultur dan kebiasaan masyarakat Indonesia sangat menarik untuk dikaji. Sesuatu yang tidak tepat namun karena sudah biasa dijalankan kadang kala berakhir dengan menemui kata pemakluman.

Belum lama ini pemerintah Indonesia, langsung dari Presiden, memberi himbauan agar masyarakat untuk melakukan social distancing atau dalam bahasa Indonesia lebih tepat dibilang jaga jarak. Pada 15 Maret 2020 Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar masyarakat melakukan aktivitas sekolah, beribadah, kuliah dan bekerja dilakukan dari rumah. Pak Presiden juga mengharap agar masyarakat menjauhi kerumunan demi mencegah penyebaran covid-19 yang mengempur Indonesia.

Social distance atau social distancing sendiri merupakan himbauan agar masyarakat menghindari pertemuan besar atau kerumunan orang. Jarak ideal jika berada di sekitar orang lain adalah sekitar dua meter.
Social Distancing

Kemarin saya pergi ke ATM. Sengaja datang sangat pagi demi menghindari kerumunan. Sayangnya di depan ATM sudah ada sedikitnya empat orang mengantre. Karena ingin menaati instruksi pemerintah sekaligus ingin menjaga diri, maka saya memilih antre dengan jarak beberapa lengan (kira-kira hampir dua meter). Jeda sepuluh  menit antrean saya belum berubah. Saya masih menunggu dengan santai dan sangat sabar. Tiba-tiba datanglah orang baru, langsung menempati celah (jarak) yang saya ciptakan dengan orang di depan saya sebelumnya.

Awalnya saya biarkan, saya maklumi meski antrean diserobot. Saya mundur lagi, menciptakan jarak yang hampir sama seperti sebelumnya (hampir dua meter). Eh datang orang baru, kembali lagi menempati celah yang saya buat. Kali ini saya tidak terima dan mengingatkan orang tersebut. Meski dengan muka agak kusut,  orang tersebut mau pindah ke belakang. Sayangnya dia tidak mencoba membuat jarak seperti saya membuat jarak dengan depan saya. Lantas saya kembali maklum dengan berpikir kalau orang di belakang saya itu belum paham konsep social distance.

Praktik Social Distancing 


Masalah sosial distancing sepertinya belum dipahami sepenuhnya oleh banyak kalangan. Utamanya kalangan pedesaan semacam tempat tinggal saya. Saya kaget waktu  melihat berita di televisi tentang cek kesehatan untuk warga Solo yang pernah kontak langsung dengan salah satu korban meninggal positif corona. Cek kesehatannya tidak masalah dan memang dianjurkan. Namun sayangnya prosedurnya belum tepat. Warga itu berkumpul dalam satu tempat dan waktu. Mereka duduk mengantre dengan jarak yang sangat dekat bahkan tampak saling bercakap layaknya sehari-hari. Ini justru mengerikan. Karena tidak tahu apakah mereka sehat atau ada diantara mereka membawa virus. Bisa jadi satu dari mereka pembawa virus meski tanpa gejala. Dan jika benar demikian maka ini sangat mengkhawatirkan.

Menurut New York Times social distancing (jaga jarak) itu berarti masyarakat diharapkan untuk melakukan hal-hal berikut antara lain: menghindari transportasi umum, bekerja dan atau belajar dari rumah, menghindari pertemuan dengan banyak orang (menghindari keramaian), keluar sebentar boleh namun harus dengan kepentingan jelas (misal olahraga atau belanja, cari makan bagi anak kosan), memakai masker. Tujuannya demi meminimalkan peluang penyebaran virus. Tapi bagi masyarakat pedesaan agaknya praktik social distance agaknya sulit diterapkan. Kultur masyarakat desa yang guyup rukun, sopo aruh, penuh sopan santun tidak mengajarkan atau membiasakan untuk saling menjaga jarak dengan orang lain.

Meski social distance tidak dapat mencegah 100% penularan virus corona tapi dengan melakukan langkah sederhana ini, yaitu jaga jarak, maka berarti telah ikut melindungi diri dan orang lain dari penularan virus. Selain itu kita juga harus ingat dan mampraktikkan anjuran sederhana lainnya yaitu untuk sering cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menghindari menyentuh wajah, mulut dan mata.

Tapi harus dipahami juga dalam melakukan social distance haruslah sesuai dengan arahan pihak berwenang. Jangan sampai kena SP dari kantor karena ‘meliburkan diri’ padahal kantor tidak memberikan instruksi untuk ‘libur’. Pula harus selalu pantau info terbaru dari portal terpercaya untuk terus membantu menghentikan penyebaran virus.
*

Penulis:
Mini GK, Mahasiswa Hukum Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta, penulis dan Duta Damai

Buat Apa Berkunjung ke Cagar Budaya Indonesia?

Buat Apa Berkunjung ke Situs Cagar BudayaIndonesia?

Oleh: Mini GK (Tri Darmini)

Satu hal yang kurang saya suka namun harus terpaksa sering saya lakukan, yaitu menunggu. Tarik napas dan hembuskan. Apa ada yang senasib dengan saya?

Biasanya untuk membunuh waktu (ya membunuh waktu bukan sebuah kejahatan) saya membaca buku. Seperti sore tadi. Hampir satu jam sudah saya menunggu sepupu yang janji mau ngajak jalan namun tidak jua ia muncul. Sementara lembaran buku yang saya baca sudah lebih dari lima belas halaman. Saya sedang membaca sejarah tentang Serangam Umum 1 Maret. Bukan kebetulan saya membaca buku yang memuat kisah tersebut melainkan sengaja sebab dalam beberapa hari kedepan ada tugas yang berkaitan dengan sejarah Serangan Umum 1 Maret.

Monumen Stasiun Radio AURI PC2
Saya hampir saja beranjak pergi tepat saat sepupu muncul di pintu.
“Jadi jalan?” tanyanya begitu berjarak sekian jengkal dari muka saya.
“Jadilah. Lama banget sih.”
“Tadi ada urusan sedikit. So, mau ke mana kita hari ini?”
“Ke monumen Radio AURI PC2 sekalian ke Cagar Budaya Bleberan.” Setidaknya dua tempat itu yang ada dalam benak saya sejak tiga hari lalu.
Sepupu saya melotot dan langsung berucap, “ngapain ke sana? Buat apa main ke cagar budaya?”

Saya mengerjap. Buat apa main ke cagar budaya? Pertanyaan itu membuat saya terdiam cukup lama. Apakah harus ada alasan khusus untuk main ke cagar budaya?
“Tapi kalau kamu mau ke sana, ayolah.”

Saya mengangguk. Lanjut dengan sepupu naik motor menuju daerah Bleberan Playen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya butuh waktu 10 menit perjalanan santai untuk tiba di lokasi.

Situs Cagar Budaya Bleberan Saksi Peradaban Masa Megalitikum

Karena waktu yang sudah sore, saya minta untuk lebih dulu mengunjungi Situs Cagar Budaya Bleberan. Lokasinya jauh dari jalan raya. Harus masuk dan lewat pemukiman warga. Beruntung saya suka dengan suasana desa dan tegalan yang mengelilingi Situs Cagar Budaya Bleberan.

Pagarnya baru saja digembok saat motor saya tiba di lokasi. Petugasnya masih ada dan baru berbalik badan, maka buru-buru saya mendekat untuk minta waktu barang sejenak demi menengok koleksi benda sejarah yang ada dalam lokasi cagar budaya.
Cagar Budaya Situs Bleberan

Kalau orang yang tidak paham maka akan mengira kalau yang tergeletak di situ  hanyalah batu-batu biasa yang enggak ada sejarahnya. Itu kalau orang yang tidak paham, seperti halnya sepupu saya. Ia kebingungan saat menyisir lokasi dan yang dilihat hanya batu-batu tertata, seperti sengaja ditidurkan dengan obat bius.

Tempat ini sudah menjadi penampungan cagar budaya sejak tahun 1998. Dari sejarah yang saya baca, di daerah Bleberan inilah ditemukan menhir utuh dan insitu berukuran tinggi 408 cm, lebar 33 cm dan tebal 27 cm. 
Menhir yang saya tahu adalah sebuah batu tegak yang sering dipakai untuk ritual pemujaan pada masa megalitikum. Menhir biasanya ditancapkan tegak namun ada juga yang terlentang. Di Situs Cagar Budaya Bleberan ini ada 23 menhir, 1 buah kepala menhir, 28 peti kubur, 2 buah patok peti kubur batu dan 3 buah batu kenong. Sekarang saya setuju dengan para ahli sejarah dan arkeolog yang berpendapat bahwa daerah ini dulunya merupakan salah satu situs prasejarah di Gunungkidul.

Penampakan Situs Bleberan (20/11/2019) sedang dalam tahap renovasi
Saya jadi bertanya seperti apa kiranya peradaban masa itu berlangsung, mengingat saat ini. Saat ingin bertanya pada petugas, saya sedikit ragu soalnya waktu sudah sangat sore. Maka saya putuskan untuk esok datang lagi lebih siang. Baru kali ini saya mendatangi sebuah lokasi namun tidak merasa rugi meski tidak dapat apa-apa kecuali foto dan sedikit aura aroma masa lalu.
Meski tidak yakin paham tentang lokasi yang dikunjunginya namun sepupu tidak absen untuk berfoto ria dan bahkan membagikan video di ig-story.

Saya pamit pada petugas dan pindah lokasi ke Monumen Radio AURI PC2.

minigeka.com
Lokasi Radio AURI PC2

Kehadiran Radio AURI PC2 pada Serangam Umum 1 Maret

Tiba di lokasi, sepupu terlihat kaget.
“Ini beneran tempat bersejarah yang dimaksud dalam buku-buku?”
“Emang.”

Saya langsung ngeloyor masuk dan memotret monumen yang tidak seberapa tinggi tersebut.
Saya paham dengan keheranan sepupu. Ia mengira kalau situs sejarah yang sudah disahkan menjagi Situs Cagar Budaya ini bentuknya kuno, tampak angker dan seram. Saya yakin itu sebab sepanjang jalan tadi dia sudah menebak-nebak. Nyatanya salah, situs cagar budaya ini tampak begitu modern. Saya kira ini berkat pemugaran beberapa kali. Bahkan saya merasa lokasi ini terbilang riuh riang gembira sebab dikelilingi dengan bangunan TK yang lengkap dengan mainannya mulai dari ayunan sampai prosotan.

Inilah lokasi yang dulu pada 1 Maret 1949 berjasa menyebarkan berita bahwa pasukan Indonesia berhasil menduduki kembali posisi pemerintahan Ibu Kota Indonesia yang saat itu adalah Yogyakarta. Hal ini penting dan menguncang dunia. Sebab sebelumnya dikabarkan kalau Indonesia sudah jatuh ke tangan penjajah dan dianggap musnah. Nyatanya Indonesia masih jaya. Siaran dari radio AURI PC2 ini disebarkan hingga Sumatera dan akhirnya sampai di telinga PBB yang langsung mengambil tindakan tegas.

Pertama kali saya mendengar kisah tentang Radio AURI PC2 adalah sekitar tahun 2000an saat masih SMP. Saat itu guru Sejarah menyombongkan skripsinya yang membahas kesaktian Radio AURI PC2 dan mendapat nilai A. Jujur masa itu saya tidak begitu tertarik untuk ingin tahu lebih lanjut. Barulah akhir-akhir ini (itu juga karena didorong oleh kewajiban tugas) saya mulai membaca buku dan mencari tahu tentang peninggalan sejarah ini. Tidak disangka kemudian saya jatuh cinta.

Memang benar kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Lagian saya berpikir juga alangkah ruginya jika sampai tidak paham dengan situs cagar budaya satu ini padahal namanya sudah melegenda dan saya yakin sering dibahas juga di berbagai seminar sejarah.

Radio AURI PC2 tidak akan pernah luput dibahas dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Dan mendadak saya bangga dong sudah pernah mengunjunginya.

Situs Candi Plembutan, dari mitos sampai etos

Karena sudah sampai Bleberan, sepupu menyarankan agar perjalanan dilanjut ke situs Candi Plembutan. Lokasinya memang hanya berjarak satu kilo dari Monumen Radi AURI PC2, maka saya pun menyetujuinya. Lumayan untuk mengunjugi tiga situs sejarah hanya dibutuhkan waktu kurang dari 2 jam dan itu sudah puas kalau hanya sekedar melihat-lihat.

Sampai di Situs Candi Plembutan, saya langsung mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan beberapa sisa candi yang masih berserakan. Saya curiga candi ini dulunya lebih luas dibanding yang sekarang. Jangan bayangkan bentuknya serupa Candi Sewu atau Borobudur.  Kamu bahkan hanya akan menemukan gundukan tanah dan beberapa batu yang tertata dan sebagian berserakan. Saya tahu, batu-batu ini adalah penyusun candi yang tengah dikumpulkan dan diobservasi sama tim cagar budaya. Saya pernah melihat hal ini di beberapa candi yang pernah saya kunjungi (dalam rangka belajar sejarah). 

Cagar Budaya Candi Plembutan
Kalau penyusunan candi belum dijalankan, ada kemungkinan banyak bagian candi yang hilang. Atau bisa jadi diambil oleh warga (yang mungkin tidak paham kalau itu bagian candi) karena bentuk batunya sekilas emang sama saja dengan batuan yang lain.
Dulu pernah juga saya diajak keliling oleh komunitas penyuka sejarah dan dari mereka saya tahu kalau batu-batu penyusun candi bisa  hanyut di sungai terbawa arus. Ada juga penduduk yang karena tidak paham jika itu batu candi memakainya untuk pondasi rumah atau malah bahan meterial penyusun rumah.

Konon sebuah rumah yang dibangun dengan memakai batu atau bagian candi bakal tidak tenang. Saya antara percaya dan tidak. Antara mitos yang beredar bakal terjadi masalah dan etos para penduduk yang sengaja ingin menyimpan barang bersejarah tersebut tanpa ada niat yang lain.

Walau sepi dan sempit, situs Candi Plembutan tampak bersih dan terawat. Lokasinya juga mudah dijangkau pula tidak tampak seram. Saya sih betah berada di sini. Bahkan berlama-lama pun tidak masalah. Situs ini sendiri punya sejarah cukup panjang. Yang saya datangi ini merupakan reruntuhan bangunan candi yang berasal dari periode klasik Hindu Budha. Para pakar memperkirakan kalau situs ini sudah ada sejak abad ke-6 hingga ke-10 Masehi.


Pemetaan pada situs ini pernah dilakukan pada tahun 1982 (saya belum lahir, omong-omong). Lantas para arkeolog melakukan ekskavasi dua kali yaitu pada tahun 1997 dan 2000. Ekskavasi tahun 1997 ditemukan fragmen Yoni, arca berbentuk trisula, arca Siwa Mahaguru serta mata uang VOC dan Hindia Belanda. Lantas ekskavasi berikutnya berhasil menemukan umpak batu, hiasan Ardha Candrakapala, fragmen tangan dengan keyura, arca Ganesha, mata uang VOC dan Belanda juga gerabah. Sangat sarat dengan sejarah kekayaan masa lalu.

Dari sisa reruntuhan dapat diketahui kalau Candi ini dulunya menghadap barat, dibangun dengan material batu putih dan memiliki denah bujur sangkar. Banyak yang meyakini kalau bangunan ini dulunya merupakan bangunan suci penganut agama Hindu.

Saya sangat ingin agar kelak ada yang bisa mencocokan batu-batuannya dan menyusun ulang. Kebayang seperti apa gagahnya peninggalan sejarah ini.

Buat apa main ke Situs Cagar Budaya?

Sebelum pulang, saya kembali teringat pertanyaan sepupu. Saya masih agak blenk dengan jawaban saya sendiri sampai akhirnya di rumah menyusun beberapa jawaban yang bisa bertambah sewaktu-waktu.
Maka jika ada yang bertanya mengapa harus ke situs cagar budaya, setidaknya saya punya 3 jawaban:
Pertama, untuk mengenal sejarah dan peradaban. Bukan untuk orang lain tapi untuk pengetahuan saya pribadi.

Kedua, tentu saja untuk membangkitkan rasa cinta dan memiliki. Sebab setelah kenal biasanya akan timbul rasa mencintai dan nyaman.

Ketiga, menumbuhkan rasa untuk ingin selalu merawat, menjaga dan melestarikan situs cagar budaya tersebut. Ya bayangin aja seandainya situs cagar budaya semacam situs Candi Plembutan tidak dirawat, gimana bisa saya menemukan fakta yang pernah ada dan terjadi di sana. Begitu pun dengan Radio AURI PC2, masak iya cuma sekadar tahu namanya saja tapi tidak mengeri bentukannya. Cagar budaya harus selalu dirawat dan didengungkan keberadaannya biar tidak jadi sesuatu yang usang dan atau malah musnah. Anggap saja dengan merawatnya, kita sudah ikut menghargai dan membuat tersenyum para pejuang masa lampau yang mewariskan hal luar biasa untuk kita dan penerus kita kelak.

Saya baru sadar kalau selama di lokasi tidak banyak foto diri dengan latarbelakang situs cagar budaya dan saya merasa nyaman.
Agaknya memang benar kata kenalan saya bahwa mendatangi sebuah tempat jangan hanya karena napsu ingin selfie atau foto-foto melainkan usahakan untuk mencari rasa dan pengetahuan yang belum tentu bisa ditemukan di lokasi lain.
Saya terharu akhirnya bisa juga menulis kisah yang beraroma sejarah dan budaya.

Kisah ini memang tidak seberapa tapi saya meniatkan tulisan ini untuk ikut kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!”

Wajah dan Suara Batu Alien Kaliurang

Selama ini ada sedikit salah paham tentang tempat tinggal saya hanya karena mencantumkan Yogyakarta dalam setiap perkenalan, resmi mau pun casual.

Ya enggak salah dong kalau saya bilang tinggal di Yogyakarta. Yang salah itu yang mengartikan bahwa Yogyakarta itu adalah Malioboro atau Kaliurang. Padahal Yogyakarta yang ada di KTP itu artinya Provinsi. Sementara Yogyakarta sendiri punya empat kabupaten dan satu kotamadya.

Banyak teman yang mengira kalau rumah saya ini deket gitu sama Kaliurang. Padahal ya itu mah dari gunung satu ke gunung yang lain. Jauh.
Ya tapi gak apalah. Namanya juga mereka kan gak tahu. Lagian yang menganggap demikian biasanya mereka yang belum pernah atau belum tahu banyak tentang Yogyakarta.

Akan sangat galau jika ada kawan yang secara tidak sengaja ngajak jumpa tapi lokasinya jauh dari jangkauan. Misalnya ngajak ketemuan di Kulonprogo padahal saya di Gunungkidul. Lagian saya enggak pernah ke Kulonprogo.

"Besok ketemuan yuk."
"Di mana?"
"Aku lagi nginep di Sentolo. Aku bawa oleh-oleh nih."
Yeahhh, jawuh tapi tertarik juga sama oleh-olehnya tapi ya sayang juga sama tenaganya.

"Kak Min, meetup yuk. Aku lagi di Jogja."
"Hayuk. Kapan?"
"Sekarang aja. Ntar jam 8 keretaku udah jalan lagi."
Dan jam 8 itu tinggal duwa jam lagi. Saya di mana dia di mana...


Jadi saudara, sejujurnya rumah saya ini sama bandara masih jauh, dari stasiun jauh, dari terminal jauh. Dari XXI, plis jangan ajak nonton di tengah malam, jawuh jalan pulang.
Kalau ngajak ngedate bolehlah tapi jangan mepet waktunya. Anu, itu juga, tempat date sama makannya harus yang okey punya. Jangan sampai sia-sia waktu yang sudah saya siapkan dari rumah.
Oh iya, bicara Yogyakarta, apa sih yang ada dalam benakmu saat dengar: weekend di Jogja?

Malioboro? Pantai pasir putih? Alun-alun yang syahdu? Atau macet?
Boleh-boleh. Semua itu benar. Yogyakarta semakin hari semakin seksi. Semakin banyak macet dan semakin banyak patah hati juga.

Yogyakarta sepertinya surga piknik bagi sebagian besar pengunjungnya. Juga sebagai tempat mengenang kenangan bagi yang pernah tinggal di sana.
Bagi saya, Yogyakarta adalah napas tanpa habis.
Weekend di Jogja bagi saya sama dengan kerja.
Ya, sudah beberapa weekend ini saya habiskan untuk mencari rupiah demi membangun rumah dan tangga harmonis.
Bangun lebih pagi adalah hal utama dalam rutinitas weekend saya.
Yang lain, weekend sama dengan glundungan dan anti mandi mandi club', buat saya weekend adalah olah rasa olah emosi olah jiwa.
Mandi lebih bersih. Dandan lebih cetar. Wangi lebih semerbak.

Minggu adalah jadwalnya jalan sama adik-adik bengkel Sastra.
Di pertemuan kedua, dijadwalkan outbound ke Kaliurang.
Tidak hanya murid dari Gunungkidul tapi semua peserta bengkel sastra se-provinsi DIY.

Lumayan bisa lihat Dedek dedek gemes meski gak bisa mengingat satu satu namanya: yaiya, 30 nama di kelas aja gak hapal apalagi yang lain.
Perjalanan ke Kaliurang cukup lumayan. Maka kami kumpul pukul 06.00 WIB.
Itu berarti bangun saya lebih pagi dong. Secara mandi dan dandan aja butuh waktu minimal sejam.
Enggak sempat sarapan. Dan ini fatal. Karena saya merasa telah menyakiti tubuh sendiri. Saya sudah menerapkan jam makan sesuai kebutuhan. Cuma emang sesekali melanggarnya dengan banyak alasan.

Sudah lama enggak naik bus, dan harus naik bus buat menemani adik-adik, saya cuma iya iya saja.
Awalnya semua aman. Ada dua bus. Saya ikut di rombongan bus kedua.
Sepuluh kilo pertama adik-adik ini masih ramai, masih saling ledek sana sini. Masih bisa cakapcakap masa lalu dan orang yang ditaksir.
Lima kilo selanjutnya satu dua mulai pusing menuju mabuk. Dan agaknya yang seperti ini menular. Terjadilah hal yang mengerikan itu di lima kilo berikutnya. Satu mabok, lalu yang lain ikutan mabok.
Sudahlah sisa perjalanan diisi mereka dengan menahan mual.

Kasihan. Tapi saya tidak bisa apa apa kecuali ngajakin mereka untuk latihan napas. Napas ini bisa membuat tubuh rileks, setidaknya demikian yang saya pahami.
Sampai di lokasi. Satu-satu mulai ribut cari toilet. Menuntaskan apa yang sudah dimulai di bus sebelum selanjutnya diajak outbound sama panitia acara.

Anak-anak yang outbound, saya yang nonton (sambil nunggu makan dibagikan). Guwe enggak sarapan, enggak pula dikasih Snack.
Outbound cukup lama hingga jelang Zuhur. Usai makan siang, barulah acara jalan-jalan dimulai.
Seperti biasa. Sampai Kaliurang rasanya gak asyik kalau enggak lava tour; naek Jeep menuju Merapi.

Ada beberapa destinasi wisata yang kami kunjungi. Namun untuk kali ini, saya cuma mengulas tentang Batu Alian.

Sebelumnya saya mau menjerit. Silakan dibayangkan, naik Jeep disiang bolong. Ketika matahari di atas kepala, pas tanpa kurang.
Mana saya seperti salah kostum. Belum lagi enggak bawa kacamata dan penutup muka apalagi topi, maka sama dengan silakan mandi sinar matahari dengan bubuk debu.
Batu Alien?
Awalnya saya kira ini semacam alien alien, semacam buatan gitu serupa yang di sebelahnya.
Ternyata bukan saudara.
Kalau kalian pikirnya apa?

Jadi dinamakan alien itu sebenarnya dari kata alian. Alian itu sendiri dari bahasa Jawa yang artinya berpindah.
Jadi Batu Alien artinya batu berpindah.
Entah pindah dari mana ke mana.
Mungkin dari Gunung Merapi ke lokasinya ini.

Batunya gede banget. Kalau kata pemandu wisata sih bentuknya mirip wajah manusia.
Emang mirip sih, tapi bukan itu yang menarik buat saya.
Satu-satunya yang menarik adalah panorama gunung Merapi yang begitu gagah seolah tak mau untuk disentuh.
Jarak tempat saya berpijak kurang lebih enam kilo dari Merapi.

Saat saya ke sini cuaca lagi bagus-bagusnya. Ada awan berarak yang bikin suasana makin syahdu. Tidak sampai menutupi tubuh sang Merapi.
Sebenarnya asyik untuk berlama-lama. Masalahnya berlama-lama di sini juga enggak asyik mengingat banyaknya pengunjung yang datang dan pergi.
Pemandangan alam seperti ini paling enak kalau dinikmati berdua atau malah sendirian. Kalau ramai-ramai malah jatuhnya berisik.
Telah sejak beberapa akhir ini saya memang membatasi diri dalam berteman, yang berisik gak jelas biasanya enggak begitu diakrabi 🙃

Habis dari Batu Alien sebenarnya masih banyak spot yang menarik lainnya. Cuma saja nanti nanti deh saya tulisnya.
Kalau habis ini ada yang bilang: "yuk min meetup di batu Alien",  kalau jawaban saya lama enggak perlu ditunggu, karena kemungkinan jawabannya: tidak bisa. Jawuh. Kecuali kalau disewaain Jeep.

Beruntung Abang Drivernya jago dan suka cerita. Dalam Jeep itu hanya ada saya, driver dan 3 kawan cewek lainnya. Yang ngobrol cuma saya dan si driver.
Tiga kawan cewek sibuk nutupin wajah dari debu dan dosa.
Maklum musim kemarau, debunya makin tebel.
Kalau musim hujan udah fix ini jalan bakal penuh mandi lumpur.


OSN 2019 Mencintai Sains Mengukir Masa Depan

GENERASI MUDA INDONESIA

Sore itu hati ini  dibuat haru sekaligus takjub dengan jawaban dari adik-adik yang saya temui. Mungkin itu adalah pertemuan pertama saya dengan mereka, setidaknya itulah yang dapat saya tangkap dalam jangkauan ingatan saya.

"Soalnya tidak serumit yang saya bayangkan."
"Soal-soalnya lebih mudah dibanding tahun lalu."
"Soalnya jauh lebih mudah dari ekspektasiku."
"Aku yakin bisa pulang bawa mendali."
"Optimis."
"Ya apa pun hasilnya yang penting sudah usaha."

Itulah sebagian kalimat-kalimat yang membuat dada saya membuncah dan hampir-hampir air mata mengucur deras. Ya, saya memang mudah terkoyak-koyak dengan suasana.
Kalimat kalimat itu muncul dari mereka adik-adik yang bahkan usianya belum genap separuh total usia saya hari ini.
Mereka adik-adik pilihan terhimpun dari 34 provinsi di Indonesia. Bukan sembarang 'manusia' namun hanya mereka yang memiliki kelebihan dan memenuhi kriteria.

Ah, memang tidak akan habis mengungkapkan apa yang saya saksikan dan rasakan sore itu.
Ballroom Alana Hotel jadi saksi gegap-gempita yang tercipta dari para pemilik bahagia, para peserta juga keluarga OSN 2019.

Postingan kali ini saya ingin mengulas sedikit mengenai Olimpiade Sains Nasional. Sebuah ajang tahunan yang selalu menyita perhatian banyak kalangan.

Olimpiade Sains Nasional 2019


Tidak jauh beda dengan  tahun sebelum-sebelumnya, OSN 2019 ini terbagi menjadi: OSN SD, OSN SMP, OSN SMA.

Waktu pelaksanaannya dimulai dari tanggal 30 Juni 2019 dan berakhir 6 Juli 2019. Diikuti oleh perwakilan dari 34 provinsi.

Untuk OSN 2019 dilaksanakan di dua kota: Manado untuk OSN SMA 2019 sementara OSN SD 2019 dan OSN SMP 2019 dilaksanakan di kota Yogyakarta.

Bidang sains yang dilombakan di OSN SMA adalah:
- Matematika diikuti oleh 77 peserta
- Fisika diikuti oleh 79 peserta
- Kimia diikuti oleh 74 peserta
- Biologi diikuti oleh 77 peserta
- Komputer dan informatika diikuti oleh 75 peserta
- Astronomi diikuti oleh 72 peserta
- Kebumian diikuti oleh 77 peserta
- Geografi diikuti oleh 77 peserta
- Ekonomi diikuti oleh 77 peserta

Empat belas tahun lalu saya juga mengikuti acara seperti ini. Namun namanya belum OSN. saya sempat masuk bidang biologi dan tahun berikutnya ganti ke Fisika. Padahal fisika saya kurang bagus untuk teori, kalau praktik baru lumayan bagus. Untuk kimia lumayan cukup menguasai baik teori mau pun praktik.
Cuma kalau suruh berhadapan dengan adik-adik peserta OSN, saya sudah yakin ketinggalan jauh.

Sementara  itu untuk lokask OSN SMP  bidang Matematika dilaksanakan di SMP 8 Yogyakarta dan bidang IPA IPS berlangsung di Universitas Negeri Yogyakarta.

Maksud dan Tujuan OSN 2019

Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Didik Suhardi dalam sambutannya mengatakan bahwa ONS 2019  ini bukan hanya sebatas tempat lomba atau mencari medali tapi juga sebagai sarana untuk silaturahmi antar generasi muda khususnya yang ikut dalam perlombaan ini.

OSN juga diharapkan mampu mengoptimalkan daya juang, kerja keras, kemandirian dan membangun komunikasi yang baik antar peserta. Hal ini penting untuk mencetak karakter dan kepribadian calon pemimpin Indonesia di masa depan.

Mencintai Sains Mengukir Masa Depan

Mencintai sains mengukir masa depan, kiranya tema ini cukup mempengaruhi geliat kerja keras para peserta OSN.

Apa pun yang telah mereka perjuangkan sejatinya adalah bentuk dari rasa mencintai pendidikan demi masa depan Indonesia lebih cerah.
Saya yakin meski tidak semua peserta berhasil membawa pulang medali atau uang pembinaan, mereka tetaplah anak-anak pilihan. OSN 2019 ini bukan satu-satunya ajang yang bisa mereka masuki, namun masih banyak pintu lain yang menunggu.
Salah satunya adalah ajang olimpiade internasional di India dan Qatar.

Semoga kedepannya acara-acara dengan menjaring minat pada generasi muda terus dikembangkan dan didukung penuh tidak hanya oleh Kemendikbud  tapi juga seluruh lapisan masyarakat.

Untuk info seputar Olimpiade Sains Nasional 2019 dan yang berkaitan dengan pendidikan, teman teman bisa follow atau pantengin situs resmi Kemendikbud di:

Twitter : https://Twitter.com/DikdasmenDikbud
Instagram: https://instagram.com/dikdasmen_kemdikbud






Gaya Hidup Tanpa Menyakiti Bumi

Gaya Hidup Masa Kini

Mereka berbaris rapi serupa padi yang baru ditanam oleh para petani. Saya melangkah ikut dalam barisan, antre membayar belanjaan. Tidak seperti yang lain yang repot dengan banyaknya belanjaan, saya cukup membawa belanjaan dengan kedua tangan. Dua orang (yang saya perkirakan pasangan) di depan saya belanja cukup banyak: sayur-sayuran, buah-buahan, kue kering dan beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya.
Bukan masalah banyaknya belanjaan yang membuat saya tertarik melainkan obrolan antara keduanya.
He : Bawa totebag?
She : Bawa, cuma masih di mobil. Biar nanti aku ambil.
He : Ya. Kita harus mengurangi penggunaan plastik.
She : Kamu juga, berhenti minum dengan sedotan. Kan sudah punya bamboo straw.
He : Ya. Kita juga perlu ganti beras dengan beras organik, deh. Sayuran juga harus organik.
She : Mahal.
He : Yang penting sehat.
Obrolan berlanjut dengan tema 'bahan makanan organik'. Obrolan baru berhenti saat sudah sampai meja kasir.
Suasana Pameran UKM
Usai pisah dari kedua orang tersebut dan usai membayar, saya duduk bersandar pada pohon beringin sambil bercakap tanpa suara: sejak kapan kiranya orang-orang ini mulai peduli pada lingkungan khususnya alam? Mungkinkah kepedulian itu muncul usai postingan viral di sosial media tentang nasib paus yang mati karena banyak menelan sampah, atau  berkat rasa prihatin usai menyaksikan tayangan penyu yang harus mati lantaran sebatang sedotan, atau bisa jadi karena selembar majalah yang memperlihatkan foto ikan-ikan terjebak dalam wadah plastik. 
Banyak sekalik kemungkinan-kemungkinanyang bercakap dalam batok kepala saya.

Hingga dari sekian banyak kemungkinan dapat saya simpulkan bahwa dalam diri manusia masih banyak menyisakan kebaikan-kebaikan untuk alam, terkadang hanya butuh satu keteladanan untuk membangunkan sisa-sisa kebaikan tersebut.
Belakangan ini  trend hidup hijau sedang marak melanda Indonesia. Ramai-ramai orang mulai beralih menggunakan produk-produk ramah lingkungan. Mulai banyak yang sadar pentingnya menjaga alam. Tapi tidak sedikit juga yang ternyata hanya mengikuti 'perkembangan zaman', biar dibilang kekinian.

Meski begitu apa pun alasannya, keinginan orang-orang untuk hidup lebih hijau, hidup lebih sehat, hidup berdampingan dengan alam ditangkap oleh produsen dan jadilah produk-produk baru dengan label "ramah lingkungan". Lantas berbondong-bondong orang memilih produk dengan iming-iming "organik" tanpa lebih dulu memastikan benarkah organik atau sebatas organik dalam kemasan.
Belanjanya pun tetap di dalam minimarket, mal, swalayan bukan ke produsen langsung atau ke pusatnya.
Buah-buahan lokal
Padahal kalau mau sedikit lebih jeli, produk dengan embel-embel organik dan ramah lingkungan sejatinya sudah lama dilakoni oleh para pegiat UKM (Usaha kecil menengah). Kalau memang benar-benar ingin menjalani gaya hidup ramah lingkungan, kenapa enggak kita jajan/ belanja di UKM saja?

Buat yang belum paham, saya kasih tahu, biasanya produk-produk olahan UKM itu menggunakan bahan-bahan alami dan yang ada di sekitar. Lebih tepatnya dewasa ini para pelaku UKM tidak hanya mengolah bahan melainkan menciptakan sesuatu yang baru, bernilai jual tinggi dengan memanfaatkan bahan-bahan yang berserakan di sekitar tempat tinggal. 

UKM lahir bukan untuk mengimpor melainkan mengekspor. Jadi kalau kamu gengsi jajan/ belanja di UKM, maka perlu dipertanyakan mentalnya, sebab dalam jangka panjang sasaran pembeli UKM itu orang-orang manca atau mereka yang paham kualitas.

Mengenai produk-produk UKM sendiri, saya akan sedikit cerita tentang perjalanan saya seharian kemarin dalam acara pameran UKM di Alun-alun Sewandanan Pakualaman. Buat yang tertarik, ya mungkin saja kalian tertarik habis baca postingan ini, pameran masih berlangsung sampai Minggu, 26 Mei 2019.

UKM Istimewa

Menggunakan plastik seminimal mungkin adalah salah satu upaya untuk menjaga alam. Selain itu ada banyak hal lain yang juga sangat mudah untuk dilakukan demi menjaga alam. Hal-hal itu bisa dilakukan sambil bergaya.
Apa maksudnya? Memang bisa gaya disandingkan dengan alam?
Sangat bisa. Bukankah karena keindahan alamlah yang selama ini merangsang kita untuk berimajinasi dan melahirkan karya-karya spektakuler?
Saya ini termasuk orang yang suka tergoda setiap melihat kain. Setiap pergi ke pasar selalu kios kain menjadi satu lokasi yang wajib dikunjungi. Begitu pun saat datang ke sebuah pamerah kerajinan, fashion atau craft. Awalnya saya tertarik dengan warna dan motif, baru selanjutnya bahan kainnya (itu juga setelah diperbolehkan menyentuh).

Masalahnya sering kali saya jumpa kain yang saya ingin  ternyata hasil dari print namun penjualnya bilang itu kain batik. Banyak juga yang berasal bukaan dari pewarna alami yang sudah barang tentu membuat saya kecewa. Jujur saya mulai peduli kepada hal-hal demikian. Saya akan cerewet jika mendapati kain mahal tapi ternyata bukan dari alam atau bukan dari proses kreatif.

Ecoprint by InaLu

Kemarin begitu sampai alun-alun, saya langsung tergoda dengan stand Ina Lumora. Mereka satu-satunya produsen yang hari itu memamerkan (sekaligus menjual) baju ecoprint. Ecoprint
Nah kebetulan sekali saya ini lagi belajar teknik ecoprint, maka saya sempatkan diri untuk ngobrol sekaligus bertukar pengalaman di stand InaLu. Seru sekali.
ecoprint
Ecoprint itu udah pasti dari alam. Wong ecoprint itu artinya teknik memberi pola pada bahan atau kain menggunakan bahan alami.

Warna-warna yang dihasilkan nantinya adalah warna dari daun yang kita gunakan untuk motif.

Menariknya, diecoprint itu tidak akan ada motif lain yang sama persis. Ya secara daun-daun yang digunakan tentu saja beda tidak ada yang sama persis. Lagi, tidak semua daun akan menghasilkan warna atau motif yang sama. Bisa jadi daun jati di kain pertama bewarna ungu, namun di kain berikutnya warna kuning tua atau coklat. Tidak akan sama persis.  Ini menjadi satu tantangan, keunggulan serta keasyikan dalam mendalami ecoprint.
pasmina ecoprint
"Mbak di sini buka kelas, gak? Aku mau belajar ecoprint nih. Soalnya selama ini autodidak." Iseng saya bertanya, berharap jawabannya bisa biar saya bisa ikut daftar kelas.

"Kami belum buka, Mbak. Ecoprint itu tekniknya susah-susah gampang," jawaban dari mbaknya membuat mimpi saya berguguran laksana kapok ditiup angin.

"Yah, padahal ingin banget ni, Mbak. Omong-omong ini ada karya Mbak gak?" Saya memegang beberapa pasmina yang telah mencuri perhatian sejak pertama jumpa.

"Ada, Mbak. Tapi saya masih belajar. Sering gagal saya kalau buat."

"Lho emang ada gagalnya dalam dunia ecoprint?" 

Serius saya bertanya demikian karena menurut saya, apa pun warna dan hasilnya, ya itulah ecoprint. Tapi ternyata menurut mbak yang jaga stand (bukan pemiliknya) ada yang namanya gagal dalam membuat ecoprint. Biasanya yang disebut gagal itu kalau motif dan warnanya tidak begitu tampak jelas dan biasanya yang seperti ini tidak layak jual. padahal kalau saya mah sampai tahap ini sudah sujud syukur bahkan dipamer-pamerkan. yeah saya ini makhluk pamer
motif daun dalam ecoprint

NARENDRA BATIK

kain dari batik narendra, kombinasi tulis dan cap
Kelar ngubek-ubek stand ecoprint, pindahlah saya ke stand Narendra Batik. Di sini saya mulai kalap lagi dong. Soalnya enggak hanya kain-kain batiknya yang cakep tapi baju jadinya juga membuat jatuh hati. Kualitas kain saat dipegang juga kelihatan banget. Kebetulan saya pernah di butik jadi paham beberapa karakteristik kain.

Batiknya itu bakal adem kalau dibuat baju dan jatuhnya di badan pas/ cakepan. Lagi-lagi sebelum beli saya melakukan wawancara singkat kepada mbak yang jaga. Selain biar berasa akrab dengan cara ini saya bisa belajar berkomunikasi nanti jika ingin terjun di UMKM juga.
Dari mbak yang jaga, saya tahu kalau batik yang saya suka itu (yang tampak dalam gambar) ternyata batik kombinasi antara batik tulis dan cap.

Beda lho antara batik dan kain motif batik. Tolong dicatat ini.
Pernah, kan, ke toko mau beli batik, gayanya udah pilih ini itu udah PD, begitu besoknya dipakai eh dibilangin sama yang lain kalau itu bukan batik melainkan kain motif batik. Ya, jangan sampai dong ya gak tahu.

Sebagai anak zaman now, bolehlah cari tahu bedanya batik dan bukan batik. Secara singkat yang namanya batik itu harus melalui proses dimalam (kena sentuhan lilin malam). Kain yang lain yang enggak kena sentuhan malam maka enggak bisa disebut batik.
Batik Narendra beralamat di Jalan DI Panjaitan Yogyakarta
Begitu pun batik ada yang namanya batik tulis dan batik cap, satu lagi di Narendra ini ternyata ada batik kombinasi. Tetep cantik buat saya.

Kalau ditanya bagaimana cara membedakan batik tulis, batik cap sama kain motif batik? 
Gampangnya dilihat dari harganya. Itu paling gampang. Yang paling mahal itu pasti batik tulis.
Tapi kan kadang ada yang 'iseng', batik cap dibilang batik tulis? Cara selanjutnya untuk tahu bedanya ya dilihat dari motifnya, biasanya kalau batik tulis itu tidak rata juga kurang simetris, beda dengan batik cap.
Kalau udah biasa dan sudah cinta nanti juga akan tahu bedanya. Eyaaa

Peran Plut Jogja

Sebagai seorang penikmat yang sering kecanduan dengan hal-hal yang menarik, tentu saja saya berterimakasih kepada Dinas Koperasi UKM DI Yogyakarta dan PLUT-KUMKM DI Yogyakarta yang sudah mengadakan pameran inspiratif seperti ini. Saya dengar dari Mbak Narendra konon acara seperti ini akan terus berlangsung namun lokasinya pindah-pindah. Saya dong sudah rekues agar di setiap stand menampilkan produk baru. Yang baru dan ramah lingkungan tentu saja.
Sudah lama saya kenal PLUT KUMKM, setiap menghadiri acara mereka selalu menerbitkan semangat untuk ikutan jadi entrepreneur. Masalahnya saya ini kebanyakan mimpi dan terlalu syarat namun realisasinya kapan-kapan. Enggak cocok banget dengan jiwa para pegiat UKM.

Para pegiat UKM lihat daun kelor bisa jadi bakso, bakpia, coklat dll. Lha saya lihat kelor ingatnya jimat (konon gitu, kelor ada unsur mistiknya).
Heran juga saya tuh sama pegiat UKM yang bisa menyulap tulang ikan jadi keripik. Tulang ikan mah bagi saya sesuatu yang udah enggak berguna, salah ternyata bisa lho dibuat keripik enak banget.

Bakso Kelor

Omong-omong karena udah menyinggung makanan, saya juga mau cerita kalau kemarin itu sempat lihat pengolahan daun kelor menjadi berbagai macam makanan, salah satunya jadi bakso.

Sungguh ini sesuatu yang baru, berfaedah, alami dan berkhasiat. Daun ini punya berbagai macam keajaiban. Di rumah saya punya pohon kelor banyak banget. Enggak bisa mengolah selain dibuat sayur bening atau sup. Hampir tiap hari saya konsumsi ini. Dan baru sore kemarin tahu kalau kelor bisa jadi racikan bakso. Sungguh beruntung sudah mampir ke pameran ini.

Ya emang kelor kalau dimakan langsung atau dibuat urap kurang begitu menggiurkan, tapi kalau udah jadi bakso atau olahan lainnya (bahkan jadi coklat kelor) udah pastilah menggoda untuk dicicipi.
Kira-kira kebayang gak? Kalau penasaran, tenang masih ada sampai hari Minggu lho.

Oleh-oleh dari Pawon Sentono

Seperti yang saya bilang di awal, UKM itu menyasar konsumen tidak hanya lokal namun interlokal, wajar kalau banyak produk yang dibuat cocok untuk oleh-oleh.

Kemarin sempat lihat ada stand oleh-oleh khas Jogja bernama Pawon Sentono. Percayalah ini pertama kalinya saya berjumpa dengan Pawon Sentono.
Packaging wedang uwuh
Sekilas saya lihat Pawon Sentono lebih konsen ke produk-produk bahan minuman dari bahan alami. Contohnya bubuk jamu temulawak, bahan wedang uwuh, bubuk wedang jahe dan beberapa calon minuman lainnya. Kalau buat saya, ini cocok untuk diicip. Sekali beli bisa dinikmati beberapa kali. Tinggal diseduh, simpel namun tetap alami.

Ada juga sambel yang bisa tahan beberapa bulan. Sambelnya macam-macam, ada petai, tongkol, terasi dan beberapa lainnya yang sayangnya sudah habis. Untuk saya masih jumpa dengan sambel petai dan terasi. Nyobain beli yang petai soalnya di rumah pada suka petai. Dibanding beli saos, saya lebih memilih sambel. Perut saya tidak terbiasa dengan saos.
Sambel Pawon Sentono 
Masih di stand Pawon Sentono, saya jumpa kebab dan cireng. Cireng dan sambel adalah perpaduan yang cukup memikat.

Setelah melakukan transaksi singkat (karena pukul 5 sore mereka tutup) saya tahu kalau Pawon Sentono ini menyediakan bubuk minuman dari bahan alami dan juga makanan frozen tanpa bahan pengawet. Karena tanpa pengawet inilah jadinya bahan makanan itu perlu difrozen.
Selain yang sudah saya tulis tadi, masih banyak stand lain yang juga seru. Sayangnya karena kemarin saya datang kesorean jadinya belum bisa eksplor semuanya. Batik Narendra, Ecoprint dan terasi Pawon Sentono adalah sebagian yang sudah saya kunjungi (dan jajan).

Masih ada satu yang sangat menarik namun belum saya kulik-kulik, yaitu tentang shibori. Kenapa? Karena bulan lalu saya baru saja punya shibori baru. Takut nanti kalau jatuh hati lagi dan gak bisa kontrol diri. Sudah dibilangin kalau saya ini susah untuk enggak jatuh hati sama kain-kain.

Besok jika sempat saya ingin main lagi dan tanya tentang teknik pewarnaan shibori dengan pewarna alami. Sampai kapan pun saya akan selalu tertarik dengan hal-hal yang berasal dari alam. Gaya dapat, bumi juga selamat.

Bangga dong pakai baju dari kain buatan UKM dengan pewarna alami. Mumpung pada berbaik hati pula kasih diskon.

~gadisAnggun

Artikel ini diikutkan dalam Lomba Grebeg Lebaran yang diadakan oleh Dinas koperasi UKM DIY dan PLUT Jogja.

Launching Blokir Online Polda DIY


Launching Blokir Online Polda DIY

Bersama dengan teman-teman komunitas lain saya duduk di bawah tenda khusus yang sengaja dihadirkan oleh Polda DIY bagi tamu undangan yang telah memenuhi undangannya.
Meski saya duduk dengan ketenangan samudera, sejatinya saya masih bingung tidak jelas: acara apa ini dan apa yang harus saya lakukan?

Kehadiran bapak-bapak ibu-ibu mas-mas dan mbak-mbak berseragam coklat (seragam kepolisian/red) banyak mempengaruhi mental pula beberapa kali sempat membuat saya gagal fokus.

Saya baru mulai paham ketika acara akhirnya dibuka oleh MC (yang juga berseragam coklat alias beliau juga anggota kepolisian).

Jadi hari itu tepatnya tanggal 15 Agustus 2018 di halaman Polda DIY (yang disulap jadi ruang pertemuan) telah berlangsung acara launching Blokir Online.  Launching ini ditandai dengan pemukulan gong oleh Bapak Kapolda DIY Brigjend Pol. Drs. Ahmad Dofiri, M. Si..
Blokir online sendiri merupakan sebuah sistem baru yang nantinya diharapkan mampu membantu polisi dan masyarakat.

Selain pejabat dan anggota kepolisian, acara ini juga dihadiri oleh beberapa rekanan kepolisian, kawan-kawan media juga para netizen/ komunitas online di area DIY.

Berkat Komunitas Blogger Jogja (KBJ) saya bisa ikut hadir pula menyaksikan acara peluncuran sistem Blokir Online ini.

TENTANG BLOKIR

Menurut peraturan Kapolri no.5 tahun 2012 tentang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor, maka Blokir berarti tindakan kepolisian untuk memberikan tanda pada data Regident ranmor tertentu yang merupakan pembatasan sementara terhadap status kepemilikan ataupun operasional ranmor yang terkait dengan perkara pidana dan atau perdata.

TUJUAN BLOKIR ONLINE

1. Merupakan bentuk inovasi pelayanan Ditlantas Polda DIY kepada masyarakat
2. Sebagai bentuk kerja efisien dengan cara memangkas alur mekanisme pemblokiran kendaraan
3. Mengintegrasikan pelaksanaan tugas antar fungsi dan satuan kerja di kepolisian
4. Memperkuat peran dan fungsi Regident ranmor disfungsi lalu lintas sebagai antisipasi tindak kejahatan kendaraan bermotor
5. Bentuk perlindungan kepolisian terhadap hak milik kendaraan bermotor yang dimiliki oleh masyarakat.

Mekanisme Pemblokiran

Adapun tatacara pemblokiran sebagai berikut:
1. Pihak yang berkepentingan mengajukan permintaan pemblokiran secara tertulis dilampirkan pula alasannya kepada dirlantas
2. Petugas blokir pada masing-masing unit pelaksana Regident mencocokkan surat permohonan dengan pangkalan data komputer dan buku register
3. Petugas blokir pada masing-masing unit melakukan pemblokiran di pangkalan data komputer dan buku register dan memberikan catatan-catatan DIBLOKIR serta mencantumkan alasan permohonan, nomor dan tanggal surat atas dasar dirlantas
4. Petugas blokir mengeluarkan surat keterangan yang ditandatangani pejabat dan diberikan kepada peminta atau pelapor
5. Petugas menggabungkan surat permohonan dengan surat keterangan blokir dan diarsipkan pada tempat khusus arsip blokir.



Bakpia Wong Pusat Oleh-oleh Jogja

Piknik dan Buah Tangan

Kamu sebel gak sih kalau pas lagi piknik terus ada yang komentar "idih piknik terus, jangan lupa oleh-oleh buat gue ya"?

Pasti sebel banget deh. Lebih-lebih kalau orang yang komentar gitu tuh orang yang sama sekali enggak pernah kasih oleh-oleh juga saat ia pergi. Lagi dia bilang gitu tanpa sepeserpun kasih kita ongkos, ya minimal bayarin tiket pesawat atau apalah gitu.

Kan nyesek banget, udah gak bayarin, gak pernah kasih oleh-oleh balik eh tiba-tiba aja nongol saat kita mau piknik. Ingin rasanya membenamkan kepala dalam lautan bakpia.

Gadis Anggun pernah tuh bahkan sering. Ujungnya kalau dikomentari "emang elu kasih uang saku" justru jadi perang dingin. Dikiranya sombong padahal emang iya. 
Lha habis ya orang yang suka "minta-minta" gitu emang sesekali (kalau perlu sering) harus diskak biar ngerti apa artinya sebuah piknik dan buah tangan.
Favorit Bakpia Wong Kacang Ijo

Piknik di Jogja

Buat kamu yang kebetulan lagi berencana ke Jogja, selain ngelist tempat wisata dan hotel apakah kalian juga ngelist tempat pusat oleh-oleh? Jika iya, berarti kamu sudah selangkah lebih maju dibanding yang belum.

Kenapa, karena dengan ngelist tempat pusat oleh-oleh berarti kamu sudah ngerti di mana saja titik-titik koordinat tempat jualan oleh-oleh tersebut jadi enggak bakal kena tipu calo atau apalah tukang maksa-maksa buat nganter gitu.

Lagi, kamu juga sudah ngerti banyak varian apa aja yang dijual di toko oleh-oleh yang sudah kamu list. Sebab tidak semua jualan di toko oleh-oleh itu sama meski satu kota. 

Kalau sudah punya list tempat oleh-oleh kan jadi enak mau bandingin satu dengan yang lain enggak ribet. Pula bisa Googling duluan kira-kira mana yang okey cocok dan mana yang kiranya enggak.

Kalau kamu kebetulan mau ke Jogja alangkah baiknya kamu masukan Bakpia Wong ke dalam list pusat oleh-oleh yang bakal kamu kunjungi. 
Add caption

Bakpia Wong Jogja

Bakpia Wong terletak di kota, enggak jauh dari tugu Pal Putih. Sepuluh menitan dari Malioboro. Tepatnya ada di Jalan HOS Cokroaminoto no 149
Peta Bakpia Wong | foto by BaimWongJogja

Sekilas tempat ini boleh dibilang cakep bener. Serupa swalayan gitu. Bangunannya kokoh dengan dominasi kaca di sana sini. Tempat parkirnya luas, cocok buat yang sedang piknik dalam rombongan besar.

Ada foodcourt dan musola bersih. Nyaman untuk istirahat bagi mereka yang lelah.

Banyak spot-spot instagramable yang Jogja banget. Saran sih lebih baik foto-foto dulu sebelum belanja.
Foto by BaimWongJogja
Bakpia Wong? Kok mirip Baim Wong. Yup, emang owner-nya adalah si aktor sinetron itu. Kalau sudah ke sini kamu juga bakal lihat miniatur tiruan Baim Wong menyapamu di depan pintu.

Judulnya aja "Bakpia Wong" berarti yang dijual bakpia dong? Iya emang yang dijual di sini bakpia dan aneka oleh-oleh lainnya. Alias tidak hanya bakpia. Bahkan ada juga Batik Wong.

Kenapa harus Bakpia Wong?

Berikut ini Gadis Anggun buat daftar alasan kenapa kamu harus mampir berburu oleh-oleh di Bakpia Wong Jogja. Daftar ini bisa berubah sewaktu-waktu. 

1. Lokasinya enggak jauh dari Malioboro atau stasiun.
2. Bisa order by Gojek.
3. Tempatnya luas dan instagramable.
4. Ada mushola dan toilet yang luas dan bersih.
5. Parkiran yang luas membuat nyaman bawa kendaraan.
6. Jam operasional mulai pukul 09.00 - 21.00 WIB membuat tidak khawatir.
7. Foodcourt dan tempat tunggu yang enak dan adem.
8. Pelayanan ramah.
9. Macam-macam jenis oleh-oleh yang dijual membuat pembeli bisa eksplor dan pilih-pilih.
10. Bakpia Wong yang lembut dan enak banget bisa tahan sampai seminggu. Yakin bakpia di sini enak banget. Aneka macam rasa; coklat, keju, kacang ijo, kumbu hitam. Juaranya kacang ijo.
11. Saat datang sore ke malam akan ada foodtruck yang menjual aneka makanan
12. Banyak produk UMKM yang ikut dijual.

Tentu  saja daftar ini berdasarkan perasaan Gadis Anggun yang sudah pernah berkunjung. Pengalaman selama di sana. Mungkin lain orang lain pula pengalamannya. Jadi buat kamu yang enggak percaya mending buktikan sendiri, lantas buat kamu yang udah membuktikannya yuk tulis juga pengalamannya macam Gadis Anggun.

Luv,
Gadis Anggun perempuan teman perjalanan buku dan kamu 👠