Sangu Buku
Sangu buku sebuah gerakan nyata untuk mendekatkan anak pada buku. Sangu buku bisa menjadi trand baru dalam sosial masyarakat.
Anak Zaman Now hingga Era Industri 4.0
Perbedaan sering terjadi dalam sebuah komunikasi. Itu sesuatu yang lumrah. Hal seperti ini sering pula saya
alami. Tidak hanya dalam berinteraksi dengan kawan sebaya namun juga dengan
salah satu juri lomba. Kami sempat beradu argumen tentang ‘boleh tidaknya gawai
diberikan kepada anak sekolah’.
Dunia terus berkembang. Tantangan semakin besar. Hanya mereka yang
tangguh dan mampu mengimbangi kemajuan yang diprediksi bisa bertahan melaju.
Itu sebabnya anjuran untuk tidak memberikan gawai kepada anak bukan lagi
musimnya. Mereka yang tidak melengkapi diri dengan gawai bisa dikatakan
ketinggalan zaman. Bahkan sekolah dengan sistem asrama juga menfasilitasi arena
dengan jaringan internet (meski ada batasan jam akses).
@minigeka instruktur kepenulis, novelis, duta baca, duta damai |
Peran Orang Tua
Lalu pertanyaan muncul dari banyak kalangan: apa dampak jika anak
terlalu sering pegang gawai? Lantas apa solusi yang dapat diambil untuk kasus
ini?
Pernah bahkan sering saya mendengar ibu-ibu mengeluh karena anaknya tidak
mau baca buku dan malah sibuk dengan ponsel. Agaknya ibu-ibu itu terlalu dini
memandang ‘keburukan’ anak tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sebagai pribadi yang tumbuh barengan dengan kemajuan teknologi, saya setuju
bahwa teknologi (internet) hadir bukan sebagai musuh melainkan kawan baru yang
akan ikut membantu dalam perjalanan menuju masa depan. Memang benar kemajuan
teknologi (dan kemajuan bidang lain) selalu ada dua sisi mata uang. Tapi harus
sadar, kitalah yang bisa mengendalikannya.
Menurut saya tidak masalah jika anak-anak sering memegang ponsel, lagian
ini sudah zamannya demikian. Hal terpenting dari semua itu adalah kerelaan
orangtua untuk lebih sering memerhatikan dan memberi contoh pada anak.
Memerhatikan bukan hanya melihat namun juga berkomunikasi dari hati ke hati.
Orangtua bijak adalah kawan bagi anak-anak. Sorang anak, saya rasa akan
meniru kelakuan orang-orang di sekitarnya. Jadi solusi yang paling jitu jika ingin
anak-anak gemar membaca maka tidak lain adalah memberi contoh bahwa orangtua
juga seorang pembaca yang baik. Memberi contoh lebih efektif dibanding memarahi
anak.
Bukan perkara mudah mendekatkan anak-anak pada buku, namun juga bukan
perkara mustahil. Idealnya memperkenalkan anak pada buku sudah harus dilakukan
sejak dini. Tugas orangtua bukan untuk membuat anak pandai membaca sejak dini.
Jika pemikiran ini yang masih berkelebat, maka akan susah membudayakan gemar
membaca. Yang utama adalah menumbuhkan rasa cinta buku sejak kanak-kanak.
Usia dini adalah usia bermain dan mengenal. Biarkan lebih dulu anak-anak
mengenal dan mencintai buku-buku. Ini akan menjadi dasar bahwa buku adalah
kebutuhan. Ibarat bepergian, buku adalah sangu/
bekal yang wajib dimiliki dan dibawa kemana pun. Fenomena hari ini, orang akan
rela putar balik saat mengetahui ponsel ketinggalan. Maka kelak giliran buku
jadi serupa ponsel.
Memilih buku yang tepat juga menjadi salah satu metode keberhasilan
menanamkan rasa cinta pada buku. Mulai dari buku bantal, buku berdimensi, buku
bergambar penuh warna, buku bercerita dan terus meningkat sampai si anak
kecanduan untuk terus mencintai buku.
Kenapa harus berliterasi?
Saya termasuk orang yang sering mengesampingkan tentang peringkat minat
baca Indonesia yang katanya berada di ujung ekor. Bukan saya tidak prihatin
namun lebih memilih mengapresiasi kemajuan meski hanya selembar dalam sehari.
Katakanlah benar kita berada di ujung ekor menurut PISA. Tapi bukan
berarti Indonesia tidak mengalami perkembangan. Saya rasa minat baca khususnya
generasi kekinian semakin bagus. Sudah sering saya jumpai orang sangu buku saat di pesawat, kereta atau
dalam antrian.
Pada dasarnya budaya Indonesia adalah budaya bertutur. Orang berkumpul
lebih senang bicara dan mendengarkan daripada asyik membaca sendiri. Maka trend hari ini muncullah ruang-ruang
diskusi buku, klub buku, klub baca dan lain sebagainya. Ini adalah salah satu
cara baik untuk mempertahankan (atau memperkenalkan) dunia literasi.
Membaca saja tidak cukup sebab berliterasi tidak berhenti hanya dalam
tahap membaca. Berliterasi berarti juga mengadopsi pemahaman yang diperoleh
lewat bacaan dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Literasi bukan hanya
baca, tapi merujuk pada kolaborasi antar tindakan membaca, menulis, bicara,
mengeluarkan pendapat, berhitung pula menghasilkan ide atau memecahkan sebuah
masalah.
Literasi mengajak kita agar tidak mudah terhasut atau mudah terprovokasi
pihak lain. Dengan berliterasi berarti kita sudah membentengi diri dari
serangan ketinggalan zaman.