Social Distancing di Desa
Kultur dan kebiasaan masyarakat Indonesia sangat menarik untuk dikaji. Sesuatu yang tidak tepat namun karena sudah biasa dijalankan kadang kala berakhir dengan menemui kata pemakluman.Belum lama ini pemerintah Indonesia, langsung dari Presiden, memberi himbauan agar masyarakat untuk melakukan social distancing atau dalam bahasa Indonesia lebih tepat dibilang jaga jarak. Pada 15 Maret 2020 Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar masyarakat melakukan aktivitas sekolah, beribadah, kuliah dan bekerja dilakukan dari rumah. Pak Presiden juga mengharap agar masyarakat menjauhi kerumunan demi mencegah penyebaran covid-19 yang mengempur Indonesia.
Social distance atau social distancing sendiri merupakan himbauan agar masyarakat menghindari pertemuan besar atau kerumunan orang. Jarak ideal jika berada di sekitar orang lain adalah sekitar dua meter.

Kemarin saya pergi ke ATM. Sengaja datang sangat pagi demi menghindari kerumunan. Sayangnya di depan ATM sudah ada sedikitnya empat orang mengantre. Karena ingin menaati instruksi pemerintah sekaligus ingin menjaga diri, maka saya memilih antre dengan jarak beberapa lengan (kira-kira hampir dua meter). Jeda sepuluh menit antrean saya belum berubah. Saya masih menunggu dengan santai dan sangat sabar. Tiba-tiba datanglah orang baru, langsung menempati celah (jarak) yang saya ciptakan dengan orang di depan saya sebelumnya.
Awalnya saya biarkan, saya maklumi meski antrean diserobot. Saya mundur lagi, menciptakan jarak yang hampir sama seperti sebelumnya (hampir dua meter). Eh datang orang baru, kembali lagi menempati celah yang saya buat. Kali ini saya tidak terima dan mengingatkan orang tersebut. Meski dengan muka agak kusut, orang tersebut mau pindah ke belakang. Sayangnya dia tidak mencoba membuat jarak seperti saya membuat jarak dengan depan saya. Lantas saya kembali maklum dengan berpikir kalau orang di belakang saya itu belum paham konsep social distance.
Praktik Social Distancing
Masalah sosial distancing sepertinya belum dipahami sepenuhnya oleh banyak kalangan. Utamanya kalangan pedesaan semacam tempat tinggal saya. Saya kaget waktu melihat berita di televisi tentang cek kesehatan untuk warga Solo yang pernah kontak langsung dengan salah satu korban meninggal positif corona. Cek kesehatannya tidak masalah dan memang dianjurkan. Namun sayangnya prosedurnya belum tepat. Warga itu berkumpul dalam satu tempat dan waktu. Mereka duduk mengantre dengan jarak yang sangat dekat bahkan tampak saling bercakap layaknya sehari-hari. Ini justru mengerikan. Karena tidak tahu apakah mereka sehat atau ada diantara mereka membawa virus. Bisa jadi satu dari mereka pembawa virus meski tanpa gejala. Dan jika benar demikian maka ini sangat mengkhawatirkan.
Menurut New York Times social distancing (jaga jarak) itu berarti masyarakat diharapkan untuk melakukan hal-hal berikut antara lain: menghindari transportasi umum, bekerja dan atau belajar dari rumah, menghindari pertemuan dengan banyak orang (menghindari keramaian), keluar sebentar boleh namun harus dengan kepentingan jelas (misal olahraga atau belanja, cari makan bagi anak kosan), memakai masker. Tujuannya demi meminimalkan peluang penyebaran virus. Tapi bagi masyarakat pedesaan agaknya praktik social distance agaknya sulit diterapkan. Kultur masyarakat desa yang guyup rukun, sopo aruh, penuh sopan santun tidak mengajarkan atau membiasakan untuk saling menjaga jarak dengan orang lain.
Meski social distance tidak dapat mencegah 100% penularan virus corona tapi dengan melakukan langkah sederhana ini, yaitu jaga jarak, maka berarti telah ikut melindungi diri dan orang lain dari penularan virus. Selain itu kita juga harus ingat dan mampraktikkan anjuran sederhana lainnya yaitu untuk sering cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menghindari menyentuh wajah, mulut dan mata.
Tapi harus dipahami juga dalam melakukan social distance haruslah sesuai dengan arahan pihak berwenang. Jangan sampai kena SP dari kantor karena ‘meliburkan diri’ padahal kantor tidak memberikan instruksi untuk ‘libur’. Pula harus selalu pantau info terbaru dari portal terpercaya untuk terus membantu menghentikan penyebaran virus.
*
Penulis:
Mini GK, Mahasiswa Hukum Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta, penulis dan Duta Damai
Hahaha...... Klo cara antrenya gitu terus tanpa kamu berani menegur, kacau juga yaa..
ReplyDeleteHarus ada pndkatn yang persuasif kpd msyarakt
ReplyDeleteIya. Mba, engga semua paham atau mungkin sulit beradaptasi dengan keadaan pandemi seperti sekarang.
ReplyDeleteSaya juga pernah kesal saat mengantri di depan kasir swalayan
ReplyDeleteAda ibu Ibu yang menegur agar saya menjahit jarak, dia ga merhatiin tanda jarak di depan saya tertutup trolley
Sewaktu sedang proses pembayaran dia malah nyerobot, ngga nunggu proses, membuat saya tanpa sengaja bersinggungan tangan dan belanjaan 😕😕😕
Menjahit = menjaga
DeleteKadang pas di lapangan praktik jaga jarang sangat terbatas dan mau gk mau ikut dalam kerumunan. Terpenting selalu patuh protokol kesehatan aja
ReplyDeleteWah keren. Selalu patuhi protokol kesehatan yang ada semua. Agar kita terhindar dari virus yang satu ini. Amiin 🤗
ReplyDeleteSaya kalau ada orang yang nyrobot antrian beberapa kali saya diamkan tapi kadang banyak yg ngelonjak kak. Kadang langsung saya tegesin. Protocol kesehatan ini emang, wajib dipahami aslinya tp banyak yang cuek juga di tempatku hiks. Makasih mba Mini udah mengingatkan
ReplyDeleteHorang Indonesya Raya ini memang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan yaah...
ReplyDeleteAku ikutan KZL jadinya.
Main salip, padahal maksud hati Social Distancing.
Iya,
Saling mengingatkan lebih baik.
Sebenernya istilah yang tepat social distancing atau physical distancing ya, Mbak? Kalo mengacu pada yang diterapkan di lapangan, yaitu jaga jarak, mungkin lebih tepatnya physical distancing ya :)
ReplyDeleteDi area publik seperti halteu, atm, harusnya diberi tanda penjelasan tentang social distancing. Tapi canggihnya jaman sekarang masa sih di smartphone banyak info penjelasannya masih kurang faham 😁🙏
ReplyDelete