perjalanan,
Saya jadi bertanya seperti apa kiranya peradaban masa itu berlangsung, mengingat saat ini. Saat ingin bertanya pada petugas, saya sedikit ragu soalnya waktu sudah sangat sore. Maka saya putuskan untuk esok datang lagi lebih siang. Baru kali ini saya mendatangi sebuah lokasi namun tidak merasa rugi meski tidak dapat apa-apa kecuali foto dan sedikit aura aroma masa lalu.
Buat Apa Berkunjung ke Cagar Budaya Indonesia?
Buat Apa Berkunjung ke Situs Cagar BudayaIndonesia?
Oleh: Mini GK (Tri Darmini)
Satu hal yang kurang saya suka namun harus terpaksa sering saya lakukan,
yaitu menunggu. Tarik napas dan hembuskan. Apa ada yang senasib dengan saya?
Biasanya untuk membunuh waktu (ya membunuh waktu bukan sebuah
kejahatan) saya membaca buku. Seperti sore tadi. Hampir satu jam sudah saya
menunggu sepupu yang janji mau ngajak jalan namun tidak jua ia muncul. Sementara
lembaran buku yang saya baca sudah lebih dari lima belas halaman. Saya sedang
membaca sejarah tentang Serangam Umum 1 Maret. Bukan kebetulan saya membaca
buku yang memuat kisah tersebut melainkan sengaja sebab dalam beberapa hari
kedepan ada tugas yang berkaitan dengan sejarah Serangan Umum 1 Maret.
![]() |
Monumen Stasiun Radio AURI PC2 |
Saya hampir saja beranjak pergi tepat saat sepupu muncul di pintu.
“Jadi jalan?” tanyanya begitu berjarak sekian jengkal dari muka saya.
“Jadilah. Lama banget sih.”
“Tadi ada urusan sedikit. So,
mau ke mana kita hari ini?”
“Ke monumen Radio AURI PC2 sekalian ke Cagar Budaya Bleberan.”
Setidaknya dua tempat itu yang ada dalam benak saya sejak tiga hari lalu.
Sepupu saya melotot dan langsung berucap, “ngapain ke sana? Buat apa
main ke cagar budaya?”
Saya mengerjap. Buat apa main ke
cagar budaya? Pertanyaan itu membuat saya terdiam cukup lama. Apakah harus
ada alasan khusus untuk main ke cagar budaya?
“Tapi kalau kamu mau ke sana, ayolah.”
Saya mengangguk. Lanjut dengan sepupu naik motor menuju daerah Bleberan
Playen. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya butuh waktu 10 menit
perjalanan santai untuk tiba di lokasi.
Situs Cagar Budaya Bleberan Saksi Peradaban Masa Megalitikum
Karena waktu yang sudah sore, saya minta untuk lebih dulu mengunjungi
Situs Cagar Budaya Bleberan. Lokasinya jauh dari jalan raya. Harus masuk dan
lewat pemukiman warga. Beruntung saya suka dengan suasana desa dan tegalan yang
mengelilingi Situs Cagar Budaya Bleberan.
Pagarnya baru saja digembok saat motor saya tiba di lokasi. Petugasnya masih
ada dan baru berbalik badan, maka buru-buru saya mendekat untuk minta waktu
barang sejenak demi menengok koleksi benda sejarah yang ada dalam lokasi cagar
budaya.
![]() |
Cagar Budaya Situs Bleberan |
Kalau orang yang tidak paham maka akan mengira kalau yang tergeletak di
situ hanyalah batu-batu biasa yang
enggak ada sejarahnya. Itu kalau orang yang tidak paham, seperti halnya sepupu
saya. Ia kebingungan saat menyisir lokasi dan yang dilihat hanya batu-batu
tertata, seperti sengaja ditidurkan dengan obat bius.
Tempat ini sudah menjadi penampungan cagar budaya sejak tahun 1998. Dari
sejarah yang saya baca, di daerah Bleberan inilah ditemukan menhir utuh dan
insitu berukuran tinggi 408 cm, lebar 33 cm dan tebal 27 cm.
Menhir yang saya tahu adalah sebuah batu tegak yang sering dipakai untuk ritual pemujaan pada masa megalitikum. Menhir biasanya ditancapkan tegak namun ada juga yang terlentang. Di Situs Cagar Budaya Bleberan ini ada 23 menhir, 1 buah kepala menhir, 28 peti kubur, 2 buah patok peti kubur batu dan 3 buah batu kenong. Sekarang saya setuju dengan para ahli sejarah dan arkeolog yang berpendapat bahwa daerah ini dulunya merupakan salah satu situs prasejarah di Gunungkidul.
Menhir yang saya tahu adalah sebuah batu tegak yang sering dipakai untuk ritual pemujaan pada masa megalitikum. Menhir biasanya ditancapkan tegak namun ada juga yang terlentang. Di Situs Cagar Budaya Bleberan ini ada 23 menhir, 1 buah kepala menhir, 28 peti kubur, 2 buah patok peti kubur batu dan 3 buah batu kenong. Sekarang saya setuju dengan para ahli sejarah dan arkeolog yang berpendapat bahwa daerah ini dulunya merupakan salah satu situs prasejarah di Gunungkidul.
![]() |
Penampakan Situs Bleberan (20/11/2019) sedang dalam tahap renovasi |
Meski tidak yakin paham tentang lokasi yang dikunjunginya namun sepupu tidak absen untuk berfoto ria dan bahkan membagikan video di ig-story.
Saya pamit pada petugas dan pindah lokasi ke Monumen Radio AURI PC2.
![]() |
Lokasi Radio AURI PC2 |
Kehadiran Radio AURI PC2 pada Serangam Umum 1 Maret
Tiba di lokasi, sepupu terlihat kaget.
“Ini beneran tempat bersejarah yang dimaksud dalam buku-buku?”
“Emang.”
Saya langsung ngeloyor masuk dan memotret monumen yang tidak seberapa
tinggi tersebut.
Saya paham dengan keheranan sepupu. Ia mengira kalau situs sejarah yang
sudah disahkan menjagi Situs Cagar Budaya ini bentuknya kuno, tampak angker dan
seram. Saya yakin itu sebab sepanjang jalan tadi dia sudah menebak-nebak. Nyatanya
salah, situs cagar budaya ini tampak begitu modern. Saya kira ini berkat
pemugaran beberapa kali. Bahkan saya merasa lokasi ini terbilang riuh riang
gembira sebab dikelilingi dengan bangunan TK yang lengkap dengan mainannya
mulai dari ayunan sampai prosotan.
Inilah lokasi yang dulu pada 1 Maret 1949 berjasa menyebarkan berita
bahwa pasukan Indonesia berhasil menduduki kembali posisi pemerintahan Ibu Kota
Indonesia yang saat itu adalah Yogyakarta. Hal ini penting dan menguncang dunia.
Sebab sebelumnya dikabarkan kalau Indonesia sudah jatuh ke tangan penjajah dan
dianggap musnah. Nyatanya Indonesia masih jaya. Siaran dari radio AURI PC2 ini
disebarkan hingga Sumatera dan akhirnya sampai di telinga PBB yang langsung
mengambil tindakan tegas.
Pertama kali saya mendengar kisah tentang Radio AURI PC2 adalah sekitar
tahun 2000an saat masih SMP. Saat itu guru Sejarah menyombongkan skripsinya yang membahas kesaktian Radio AURI PC2 dan
mendapat nilai A. Jujur masa itu saya tidak begitu tertarik untuk ingin tahu
lebih lanjut. Barulah akhir-akhir ini (itu juga karena didorong oleh kewajiban
tugas) saya mulai membaca buku dan mencari tahu tentang peninggalan sejarah
ini. Tidak disangka kemudian saya jatuh cinta.
Memang benar kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Lagian saya
berpikir juga alangkah ruginya jika sampai tidak paham dengan situs cagar
budaya satu ini padahal namanya sudah melegenda dan saya yakin sering dibahas
juga di berbagai seminar sejarah.
Radio AURI PC2 tidak akan pernah luput dibahas dalam peristiwa Serangan
Umum 1 Maret. Dan mendadak saya bangga dong sudah pernah mengunjunginya.
Situs Candi Plembutan, dari mitos sampai etos
Karena sudah sampai Bleberan, sepupu menyarankan agar perjalanan
dilanjut ke situs Candi Plembutan. Lokasinya memang hanya berjarak satu kilo
dari Monumen Radi AURI PC2, maka saya pun menyetujuinya. Lumayan untuk
mengunjugi tiga situs sejarah hanya dibutuhkan waktu kurang dari 2 jam dan itu
sudah puas kalau hanya sekedar melihat-lihat.
Sampai di Situs Candi Plembutan, saya langsung mengeluarkan ponsel untuk
mengabadikan beberapa sisa candi yang masih berserakan. Saya curiga candi ini
dulunya lebih luas dibanding yang sekarang. Jangan bayangkan bentuknya serupa
Candi Sewu atau Borobudur. Kamu bahkan
hanya akan menemukan gundukan tanah dan beberapa batu yang tertata dan sebagian
berserakan. Saya tahu, batu-batu ini adalah penyusun candi yang tengah
dikumpulkan dan diobservasi sama tim cagar budaya. Saya pernah melihat hal ini
di beberapa candi yang pernah saya kunjungi (dalam rangka belajar sejarah).
![]() |
Cagar Budaya Candi Plembutan |
Kalau penyusunan candi belum dijalankan, ada kemungkinan banyak bagian
candi yang hilang. Atau bisa jadi diambil oleh warga (yang mungkin tidak paham
kalau itu bagian candi) karena bentuk batunya sekilas emang sama saja dengan
batuan yang lain.
Dulu pernah juga saya diajak keliling oleh komunitas penyuka sejarah dan
dari mereka saya tahu kalau batu-batu penyusun candi bisa hanyut di sungai terbawa arus. Ada juga penduduk
yang karena tidak paham jika itu batu candi memakainya untuk pondasi rumah atau
malah bahan meterial penyusun rumah.
Konon sebuah rumah yang dibangun dengan memakai batu atau bagian candi
bakal tidak tenang. Saya antara percaya dan tidak. Antara mitos yang beredar bakal
terjadi masalah dan etos para penduduk yang sengaja ingin menyimpan barang
bersejarah tersebut tanpa ada niat yang lain.
Walau sepi dan sempit, situs Candi Plembutan tampak bersih dan terawat. Lokasinya
juga mudah dijangkau pula tidak tampak seram. Saya sih betah berada di sini. Bahkan
berlama-lama pun tidak masalah. Situs ini sendiri punya sejarah cukup panjang. Yang
saya datangi ini merupakan reruntuhan bangunan candi yang berasal dari periode klasik
Hindu Budha. Para pakar memperkirakan kalau situs ini sudah ada sejak abad ke-6
hingga ke-10 Masehi.
Pemetaan pada situs ini pernah dilakukan pada tahun 1982 (saya belum
lahir, omong-omong). Lantas para arkeolog melakukan ekskavasi dua kali yaitu
pada tahun 1997 dan 2000. Ekskavasi tahun 1997 ditemukan fragmen Yoni, arca
berbentuk trisula, arca Siwa Mahaguru serta mata uang VOC dan Hindia Belanda. Lantas
ekskavasi berikutnya berhasil menemukan umpak batu, hiasan Ardha Candrakapala,
fragmen tangan dengan keyura, arca Ganesha, mata uang VOC dan Belanda juga
gerabah. Sangat sarat dengan sejarah kekayaan masa lalu.
Dari sisa reruntuhan dapat diketahui kalau Candi ini dulunya menghadap
barat, dibangun dengan material batu putih dan memiliki denah bujur sangkar. Banyak
yang meyakini kalau bangunan ini dulunya merupakan bangunan suci penganut agama
Hindu.
Saya sangat ingin agar kelak ada yang bisa mencocokan batu-batuannya dan
menyusun ulang. Kebayang seperti apa gagahnya peninggalan sejarah ini.
Buat apa main ke Situs Cagar Budaya?
Sebelum pulang, saya kembali teringat pertanyaan sepupu. Saya masih agak
blenk dengan jawaban saya sendiri sampai akhirnya di rumah menyusun beberapa
jawaban yang bisa bertambah sewaktu-waktu.
Maka jika ada yang bertanya mengapa harus ke situs cagar budaya,
setidaknya saya punya 3 jawaban:
Pertama, untuk mengenal sejarah dan peradaban. Bukan untuk orang lain
tapi untuk pengetahuan saya pribadi.
Kedua, tentu saja untuk membangkitkan rasa cinta dan memiliki. Sebab setelah
kenal biasanya akan timbul rasa mencintai dan nyaman.
Ketiga, menumbuhkan rasa untuk ingin selalu merawat, menjaga dan
melestarikan situs cagar budaya tersebut. Ya bayangin aja seandainya situs
cagar budaya semacam situs Candi Plembutan tidak dirawat, gimana bisa saya
menemukan fakta yang pernah ada dan terjadi di sana. Begitu pun dengan Radio
AURI PC2, masak iya cuma sekadar tahu namanya saja tapi tidak mengeri
bentukannya. Cagar budaya harus selalu dirawat dan didengungkan keberadaannya
biar tidak jadi sesuatu yang usang dan atau malah musnah. Anggap saja dengan
merawatnya, kita sudah ikut menghargai dan membuat tersenyum para pejuang masa
lampau yang mewariskan hal luar biasa untuk kita dan penerus kita kelak.
Saya baru sadar kalau selama di lokasi tidak banyak foto diri dengan
latarbelakang situs cagar budaya dan saya merasa nyaman.
Agaknya memang benar kata kenalan saya bahwa mendatangi sebuah tempat jangan hanya karena napsu ingin selfie atau foto-foto melainkan usahakan untuk mencari rasa dan pengetahuan yang belum tentu bisa ditemukan di lokasi lain.
Agaknya memang benar kata kenalan saya bahwa mendatangi sebuah tempat jangan hanya karena napsu ingin selfie atau foto-foto melainkan usahakan untuk mencari rasa dan pengetahuan yang belum tentu bisa ditemukan di lokasi lain.
Saya terharu akhirnya bisa juga menulis kisah yang beraroma sejarah dan
budaya.
Kisah ini memang tidak seberapa tapi saya meniatkan tulisan ini untuk ikut kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!”
Kisah ini memang tidak seberapa tapi saya meniatkan tulisan ini untuk ikut kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!”
20 comments: