Duta Damai
Temanku Netizen Tapi Temenku Bukan Blogger
Tentang Jodoh yang Kau Tunggu di Halte
“Menunggu jodoh itu serupa nunggu bus di halte.”“Iya tahu, maksudnya telat sedikit maka bablas sudah kesempatan buat menaikinya.”“Bukan hanya itu. Kita juga harus tahu tujuan kita ke mana? Nomer berapa bus yang mau kita naiki?”“Harus segitunya, ya?”“Kalau enggak detail kita bisa tersesat. Tidak sampai tujuan. Bisa juga berakhir tanpa akhir.”
Bukan iklan tapi
percakapan itu saya kembangkan dari obrolan Mas Ditto dan Ayu dalam film Teman
Tapi Menikah yang semalam baru saya tonton. Sekali lagi saya tidak sedang iklan
pula bukan mau ngadain review film. Wong saya juga enggak dibayar. Kalau pada
akhirnya saya pinjam satu dua dialog, ya karena memang itu juga dialog
sehari-hari saya.
Pula dialog itu relefan dengan tingkah netizen zaman now.
Keajaiban Kata Kata
Terlepas dari itu
dialog film atau dialog sehari-hari, kira-kira seperti itulah kekuatan sebuah
kata-kata. Entah itu kata-kata yang lahir dari bibir (manismu) mau pun dari
goresan tinta (emasmu).
Kata-kata adalah senjata. Kau akan dengan mudah
mempengaruhi orang lain hanya dengan sebaris kata yang berdiri kokoh laksana
serdadu, kau pun bisa dengan mudah menghancurkan seseorang hanya dari barisan
kata-kata yang bagai paku kau tancapkan pada selembar papan. Paku bisa kau cabut namun bekas (lubang) di papan akan terus tampak abadi.
![]() |
memanfaatkan media sosial, Literasi Digital |
Sebagai blogger hits juga penulis novel fenomenal agaknya saya punya keinginan membuat seminar dengan tajuk “Keajaiban Kata-kata” atau mengingat
netizen Indonesia adalah makhluk
komentator paling selo, saya jadi kepikiran membuat seminar ‘Cara Mudah
Membuat Komentar Agar Terlihat Intelek’. Ide terakhir baru kepikiran tadi saat
saya hendak solat duhur.
Kalau ditanya kenapa ingin membuat seminar 'cara mudah membuat komentar agar terlihat intelek' sebab belakangan ini saya sering mual alias mblenger (silakan cari sendiri padanan katanya) dengan komentar-komentar di sosial media yang seringnya tidak nyambung antara pokok bahasan dengan cuitan komentator.
Sebagai blogger (cerdas) sering saya menilai kepribadian seseorang dari komentar yang ia tulis. Masalahnya saya kadang ingin pingsan (di bahu paspampres) ketika sedang selo dan menelusuri akun sang komentator; bagaimana tidak mau pingsan, itu komentator tercatat sebagai mahasiswa di sebuah kampus elite di luar negeri namun komentar dia sungguh jauh dari bayangan. *ujungnya saya malah ngegibah*
Kalau boleh meminjam judul sinetron maka bolehlah ditulis "temanku netizen tapi temenku bukan blogger, dia tidak menulis blog tapi hanya nulis komentar (tanpa memberi solusi dan hanya berakhir sebagai caci maki).
Media Sosial Terlalu Riuh
“Sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa menghindari kemajuan zaman. Namun bukan berarti kita tidak bisa membetengi diri. Kalau sosial media begitu panas, kenapa enggak kita memilih jalur menjadi es? Bukankah berbeda itu unik.” Kalimat ini saya lahirkan dan saya gunakan sebagai mantra untuk membetengi diri sendiri.
![]() |
Tim Komunikasi Presiden dari #SudutIstana |
Hampir satu dekade
saya akrab dengan internet. Meski begitu saya masih sangat ‘gaptek’ dalam
mengambil manfaat. Hal ini bisa terjadi karena; saya kadang malas belajar,
alasan yang lain karena saya sering masa bodoh dengan urusan orang lain.
Tidak peduli bukan
berarti tidak tahu. Cuek berarti tidak memantau.
Apa sih kasus heboh di
negeri tercinta ini yang netizen enggak tahu?
Lantas, apa sih kasus
yang tidak dikomentari oleh netizen?
Dari Plagiat Sampai Hoax
Sebagai pengguna
sosial media aktif (iya saya memakai sosial media sebab saya artisan—plis bedakan
artisan dan selebriti, jika ngaku netizen cerdas harus cari tahu bedanya
sebelum komentar—dan artisan butuh ngebranding diri.
Lantas pertanyaannya,
emang seberapa penting sebuah pengakuan dari orang lain?
Percaya boleh tidak
juga saya tidak akan marah, pengakuan dari orang lain adalah sesuatu yang
didambakan semua orang.
Bayangkan jika engkau seorang murid namun kepala
sekolahmu tidak mengakui kamu sebagai muridnya? Bayangkan jika engkau seorang
kekasih namun orang yang kamu anggap kekasih tidak pernah mengenalkanmu sebagai
kekasihnya di depan teman-temannya? Bayangkan engkau seorang ibu namun anakmu
akan menghindarimu jika berpapasan di depan teman-temannya? Bayangkan....
*banyak banget bayangannya*
Saya rasa pengandaian
itu cukup untuk memberikan penekanan bahwa kita butuh sebuah pengakuan. Ya
meski pembandingan yang saya pakai enggak relefan setidaknya bisa jadi
gambaran.
Tempo hari kita dengar
desas-desus tentang penyebaran berita kontroversi, isu-isu politik yang tidak
jelas sumbernya namun condong menghakimi dan mengunggulkan yang lain, artikel
yang muncul bagai jamur (kulit) di segala musim, tipu-tipu, tak sesuai antara
judul dan isi. Berita macam ini lahir dan terus tumbuh bahkan semakin raksasa.
Masalahnya tidak sedikit orang yang (tidak sengaja) menjerumuskan diri menjadi aktor Plagiat atau peyebar hoax demi bisa dikenal orang lain.
Teman dekat saya bahkan baru saja dibully netizen sejagad raya lantaran ketahuan memplagiat lebih dari satu cerpen.
Banyak juga orang yang ingin mendapat pengakuan maka dia komentar sana sini meski komentarnya kadang kala lebih menjerumus sebagai caci maki dibanding komentar bersolusi.
Menuju Indonesia Maju
Sebagai netizen cerdas, sekali lagi kita bisa memilih; mau jadi aktor penyebar kepalsuan atau orang yang berdiri di atas kreativitas sendiri.
Saya pribadi bukan orang yang sangat keren tapi saya selalu mengakui diri saya keren. Kenapa? Sebab jika bukan dari saya sendiri dari mana orang lain akan mengenal saya? Jika saya setiap hari berlaku murung, maka orang lain aku melabeli diri saya dengan si pemurung.
Sama dengan negeri ini, kalau bukan kita yang mengibarkan kehebatannya, maka siapa lagi? Kenapa tidak mulai hari ini (detik ini) kita mulai mengirimkan sinyal positif meski hanya sebaris kabar gembira?
![]() |
ayo Menuju Indonesia Maju |
Kabar gembira untukmu
Sebelum saya akhiri postingan (tidak) penting ini, saya mau kasih kabar bahagia bahwa hari ini saya akhirnya bertemu dengan #TimKomunikasiPresiden yang biasanya ngantor di #sudutIstana. Banyak info baru yang saya dapatkan dan semoga tidak lama lagi saya bisa bagi-bagi untukmu (pembaca).
Penting acara yang saya ikuti hari ini Gratis dan semua terlaksana berkat kerjasama Dinas Kominfo DIY dan Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik.
"Menunggu jodoh itu serupa nunggu bus di halte," kata Mas Ditto.
"Tapi Mas, sudah bertahun-tahun aku berhenti nongkrong di halte. Sekarang aku nongkrongnya di bandara. Gimana dong? Masihkan aku akan ketemu jodoh dalam waktu singkat?" protes Miss Mini.
"Kamu adalah apa yang kamu pikirkan."
Kamu adalah apa yang kamu pikirkan (dan postingkan)
Ahsyiknya... dapat ilmu terus :)
ReplyDelete